Kisah Penjaga Palang Kereta 2: Meriang Masuk Angin
Editor
Yandi M rofiyandi TNR
Rabu, 11 Desember 2013 06:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Bintaro memunculkan banyak cerita soal suka-duka kehidupan penjaga palang itu. Salah satunya adalah Budi Hartono, 52 tahun. Ia yang merupakan penjaga Pos 20C di pintu perlintasan kereta, tepatnya kolong Jalan Simatupang, itu sudah 20 tahun bertugas. Perlintasan yang dijaganya punya ciri sendiri: berada persis sebelum lampu lalu lintas.
Penanganannya jelas beda. Budi tidak bisa mengandalkan palang pintu yang bekerja otomatis. Dia harus lebih sigap menutup palang secara manual untuk mencegah kendaraan pemburu lampu hijau melintas saat kereta lewat. "Walaupun lampunya hijau, kalau kereta mau lewat, harus saya tutup," cerita dia kepada Tempo, Selasa, 10 Desember 2013.
Tak masalah. Saking lamanya menjaga pintu, tangan Budi sudah otomatis menutup palang saat telepon berdering mengabarkan kereta datang. "Sudah naluri," dia berujar. Konsekuensinya, jalan di situ sering macet. "Biarin," kata ayah dua anak ini.
Dia hanya menyayangkan ketiadaan polisi dalam mengurai macet di sana. "Polisi enggak bantuin. Masak saya yang atur? Saya kan kerja untuk KAI," ujarnya. Perempatan ini paling ramai pada pagi jam 6 sampai 9, dan sore jam 4 ke atas.
Dia mengaku sering dimaki pengendara karena penutupan segera dan lama. Meski kesal, Budi berusaha menyabarkan diri. "Dimaki-maki, ditunjuk-tunjuk itu rasanya, aduh," kata dia penuh perasaan. Paling sering, menurut dia, oleh sopir angkot.
Budi tak mau kompromi. Dia sadar keselamatan pengendara yang melintas adalah tanggung jawabnya. Tapi Budi pasrah. Itu terbayar dengan belum pernah adanya korban tertabrak kereta selama dia bertugas. "Alhamdulillah, jangan sampai ada korban."
Ditanya soal pengalaman mistis, Budi langsung geleng-geleng. Dia menolak percaya. "Itu bohong, buat nakut-nakutin saja," katanya. Cerita yang beredar di kalangan warga, ada kereta kosong jalan sendiri. Namun dia mengaku tak pernah mengalami. "Saya enggak pernah lihat."
Berkali-kali dilewati kereta, Budi mengaku sering meriang dan masuk angin. Tapi, bekerja sebagai penjaga pintu bagi Budi adalah satu-satunya pilihan. Budi tidak percaya diri karena hanya lulusan SMP. "Ya, terima aja," kata pria keturunan Jawa-Sunda itu. "Pengin buru-buru pensiun," katanya mengacu masa pensiun tiga tahun lagi.
Menurut Budi, pekerjaannya memang lebih banyak duka. Dia menyebutkan, satu-satunya saat sukacita adalah pada awal bulan, ketika menerima uang jerih payah di kisaran Rp 2 juta. "Sukanya cuma pas gajian," ujar dia lalu terkekeh di balik topi lusuhnya.
Lihat juga:
Kisah Penjaga Palang Kereta 1: Mual Lihat Mayat
Kisah Penjaga Palang Kereta 3: Pantangan Bertugas
Kisah Penjaga Palang Kereta 4: Akrab Tragedi
ATMI PERTIWI
Terkait:
INFOGRAFIS Kronologi Tragedi Bintaro
FOTO Sopir Truk Tragedi Bintaro Dirawat di RSPP
FOTO Bentuk Truk Tangki Usai Tertabrak KRL di Bintaro
Mengapa Masinis Kereta Bintaro Tak Mengerem?