Ketua Komisi Perlindungan Anak Nasional, Arist Merdeka Sirait saat memberikan penjelasan tentang keinginan pertemuan anak korban selamat pembunuhan oleh ibu kandungnya sendiri di Mapolres Cimahi, Jawa Barat. Kamis (13/3). Arist datang mendampingi dan menyampaikan pesan untuk disampaikan kepada Kapolres Cimahi, AKBP Erwin Kurniawan dari Fahrul, korban selamat dari aksi pembunuhan yang dilakukan oleh ibu kandungnya. Fahrul ingin bertemu ibunya yang kini ditahan di Polres Cimahi karena rindu. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, sejak 1980, Indonesia merupakan surga bagi pelaku pedofil. Sebagian pelakunya adalah warga asing yang tinggal di negeri ini.
"Jika dirunut dari tahun 1980-an, korbannya tujuh bayi, disusul beredarnya gambar porno anak-anak yang di-upload setelah korbannya disodomi," katanya saat mendatangi Markas Polres Sukabumi Kota, Selasa, 6 Mei 2014.
Ia mengatakan kasus pedofil kembali mencuat di Bali setelah salah seorang diplomat Amerika bunuh diri karena kasus kekerasan seksualnya terekspos. "Kasus terakhir dilakukan di lembaga pendidikan internasional (JIS), yang merupakan buronan," katanya.
Arist mengatakan, karena terus meningkatnya jumlah kasus kejahatan seksual di Indonesia, lembaganya mengajukan kepada DPR untuk melakukan amendemen Undang-Undang Perlindungan Anak. Hukuman terhadap pelaku pencabulan, kata dia, sebaiknya diubah menjadi pelaku kejahatan seksual. "Selain itu, kami meminta hukuman maksimal menjadi 20 tahun atau hukuman mati dan penambahan hukuman suntik kimia pada kemaluannya," ujarnya.
Ia mengatakan saat ini hukuman suntik kimia tersebut sudah dilakukan di Korea, dan kini berdasarkan informasi diterapkan juga di Turki. "Tapi untuk suntik kimia ini dilakukan hanya kepada pelaku atau tersangka kejahatan seksualnya orang dewasa, bukan anak-anak," kata Arist.