Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tiba di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, 29 Juli 2015. Ahok diperiksa sebagai kasus dalam kasus dugaan korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS). TEMPO/Iqbal Ichsan
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengakui masih ada tradisi pemberian upeti atau gratifikasi dari pegawai ke pejabat di DKI.
Bahkan, menurut Ahok, praktek itu mengincar pejabat yang sudah menduduki level tinggi di DKI. “Pejabat eselon II Badan Perencana Pembangunan Daerah yang lapor kalau ada amplop yang bakal diserahkan,” kata Ahok di Balai Kota, Jumat, 7 Agustus 2015.
Pejabat itu, kata Ahok, lantas melaporkan temuannya pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Inspektorat. Bila KPK mengusut, maka Ahok senang karena berawal dari satu amplop bisa membongkar praktek gratifikasi bermotif pemberian upeti. “Biar mereka saling bongkar siapa saja yang memberi dan menerima. Seru jadinya,” ujar Ahok.
Menurut Ahok, penjelasannya tersebut untuk memberi perspektif ihwal pesannya kepada pegawai negeri bahwa lebih baik tertangkap sebagai koruptor dibanding penerima gratifikasi. Sebab, bila terjerat pidana korupsi ancaman hukuman ialah penjara. Sementara, kasus gratifikasi bisa membuat harta pejabat disita oleh negara selain hukuman penjara.
Maka, Ahok melarang keras anak buahnya menerima gratifikasi, alih-alih korupsi. “Saya paham pejabat sekarang memang tak curi uang rakyat, tapi di belakang mereka masih terima amplop dari anak buahnya,” Ahok berujar.