Operator mengatur pusat kontrol perangkat Uninterruptible Power Supply (UPS) atau pasokan daya bebas gangguan di ruang penyimpanan UPS SMA 78, Jakarta, 28 Februari 2015. ANTARA/Puspa Perwitasari
TEMPO.CO, Jakarta - Tersangka kasus korupsi pengadaan Uninterruptable Power Supply (UPS) Fahmi Zulfikar mengatakan bahwa ia diberondong 56 pertanyaan oleh penyidik. Fahmi mengaku bahwa pertanyaan yang dilontarkan penyidik hanya seputar pembahasan Anggaran Pemerintah Belanja Daerah. "Masih seputar pembahasan-pembahasan," kata Fahmi Zulfikar seusai pemeriksaan di Bareskrim, Selasa, 24 November 2015.
Terkait sangkaan bahwa ia turut serta dalam pertemuan pembahasan UPS, Fahmi menampiknya. Ia berdalih akan membuktikannya di pengadilan. Adapun mengenai statusnya tersebut, Fahmi mengaku tidak akan mengajukan gugatan pra peradilan.
Fahmi mengaku bahwa ia juga menanyakan terkait tuduhan yang dilemparkan terhadapnya kepada penyidik. Fahmi menuturkan bahwa penyidik masih malakukan pendalaman terkait kasus ini. "Ya, saya tanyakan. Mereka juga masih melakukan pendalaman. Sebagai warga negara kan saya harus menjalani (proses hukum)," kata Fahmi.
Markas Besar Kepolisian sebelumnya telah menetapkan Fahmi Zulfikar dan M. Firmansyah sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan UPS. Penetapan tersangka dilakukan pada Rabu lalu, 11 November 2015. Fahmi Zufikar merupakan anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Hanura. Sementara, M. Firmansyah merupakan mantan anggota DPRD DKI Fraksi Partai Demokrat.
Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim telah memeriksa sebanyak enam saksi untuk mengusut tersangka baru selain Alex Usman dan Zaenal Soleman dalam dugaan korupsi pengadaan UPS. Enam saksi yang diperiksa di antaranya berinisial S, MG, RS, FS, DR, E, L anggota DPRD 2009-2014.
Kasus korupsi UPS ini terbongkar sejak ditemukannya penggelembungan harga UPS sebesar Rp 5,8 miliar per unit dalam APBD 2014. Menurut informasi, harga satu UPS dengan kapasitas 40 kilovolt ampere hanya sekitar Rp 100 juta.
Fahmi Zulfikar dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. Pasal itu mengatur tentang perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, korporasi, atau orang lain yang merugikan keuangan negara, serta penyalahgunaan jabatan.