Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek memantau pemberian vaksinasi ulang terhadap anak yang diindikasikan mendapat vaksin palsu di Puskesmas Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, 18 Juli 2016. Tempo/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dinilai tidak peduli terhadap langkanya vaksin yang terjadi sejak 2011. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah memberi peringatan soal kelangkaan vaksin itu.
"Akan tetapi tidak ada perhatian, padahal permintaan vaksin tinggi dan rumah sakit tidak tahu bahwa vaksin itu palsu," kata Ketua Umum PB IDI, Ilham Oetama Marsis, saat jumpa pers Senin, 18 Juli 2016.
Konferensi pers itu dilakukan IDI bersama Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia dan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia. Mereka menyikapi dampak yang terjadi pada dokter, tenaga medis, dan fasilitas medis mengenai kasus vaksin palsu.
Polisi telah menetapkan sejumlah dokter dan tenaga kesehatan menjadi tersangka kasus vaksin palsu. "Tidak satupun peraturan mengatakan bahwa dokter bertanggung jawab atas obat di rumah sakit," kata Ilham.
Sekjen Pengurus Besar IDI, Adib Khumaidi, menjelaskan kekerasan yang terjadi di beberapa rumah sakit menimbulkan keresahan di kalangan dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
"Kami mendesak Kementerian Kesehatan dan BPOM bertanggung jawab atas terjadinya implikasi negatif akibat penanganan vaksin palsu," kata Adib. Pekan lalu, terjadi kekerasan di RS Harapan Bunda Jakarta Timur, RS Mutiara Bunda Ciledug dan RS Santa Elisabeth Bekasi.
Adib mengatakan, dokter, tenaga kesehatan, atau fasilitas pelayanan kesehatan adalah korban dari oknum pemalsu vaksin. Dia meminta pemerintah memberikan solusi atas keluhan masyarakat.
IDI mengusulkan agar pemerintah mendirikan posko pengumuman dan pengaduan di Dinas Kesehatan, sebagai tempat untuk menghindari kekrisuhan yang terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan.
Organisasi dokter Indonesia, kata Adib, tidak ingin mencampuri urusan politik di pemerintahan. Dia meminta perlindungan kepada pemerintah untuk para dokter yang bertugas. "Kami meminta perlindungan, sebagai dokter di negara sendiri," ujarnya.