Menurut Teguh Wijayanto, Public Relation Officer PT. Blue Bird Indonesia, tiga variabel biaya itu yakni investasi armada baru, biaya perawatan, serta kesejahteraan pengemudi. Teguh mengatakan di antara ketiganya, yang paling mahal ialah investasi armada baru.
"Satu armada harganya naik Rp 20 juta hingga Rp 30 juta. Apalagi biaya itu terkait langsung dengan mata uang asing," kata Teguh kepada TEMPO, Kamis (12/3).
Semua operator taksi, lanjut Teguh, menghadapi kendala yang sama. Setiap harinya, rata-rata operator mengeluarkan overhead cost atau biaya awal selama para pengemudi 'berkelana' mencari penumpang.
Namun biaya itu tak tertutupi lantaran jumlah penumpang atau 'tingkat isian' hanya mencapai 50 persen dari target pendapatan harian. "Turunnya harga bensin tak bisa menutupi biaya-biaya itu." kata dia.
Rendahnya 'tingkat isian' itu, menurut Teguh, karena masyarakat cenderung menggunakan kendaraan pribadi dan angkutan massal kelas ekonomi. Ia menghitung, daya serap armada taksi tak lebih dari lima persen jumlah penduduk Jakarta. "Sudah penumpangnya sedikit, kondisi diperparah lagi dengan persaingan antaroperator." lanjutnya.
Oleh karena itu, sebagai angkutan non ekonomi para operator taksi sepakat untuk tak menurunkan tarif. Langkah itu diputuskan dalam rapat yang berlangsung di kantor Dinas Perhubungan Jakarta, Rabu kemarin. Dalam rapat itu, operator taksi yang diwakili Organisasi Angkutan Darat bertahan pada angka Rp 5.000 (tarif batas bawah) dan Rp 6.000 (tarif batas atas) seperti ketentuan pada Desember 2008.
FERY FIRMANSYAH