Sebelumnya, Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Jakarta Utara telah mengeluarkan pernyataan bahwa perairan di wilayah tersebut tercemar merkuri, tembaga, dan logam berat sehingga berisiko menimbulkan penyakit kanker dan tumor bagi yang mengonsumsi kerang hijau tersebut.
Tiga nelayan yang ditemui Jumat (19/3) siang di tempat kerja mereka--Yasin, 42 tahun; Yanglin, 35 tahun; dan Slamet, 28 tahun—menolak dengan alasan lokasi di tempat relokasi jauh. Mereka sudah tinggal di kampung nelayan Marunda sejak tahun 1960-an, dan anak-anak mereka masih bersekolah di sana.
"Padahal di Kalibaru juga banyak nelayan kerang, kenapa hanya kami yang direlokasi?" kata mereka.
Sementara itu, Ketua Lembaga Sentra Pemberdayaan Pemuda Jaseba Pantai Marunda, Sueb, mengaku belum bisa mengambil keputusan karena belum ada sosialisasi resmi dari pihak pemerintah kota.
"Perwakilan nelayan pernah beberapa kali diundang rapat oleh Sudin Peternakan, Perikanan, dan Kelautan (P2K) Jakarta Utara terkait rencana relokasi ke Banten. Namun kami belum mendapat kepastian mengenai kompensasi yang akan kami dapat," kata dia.
Sebanyak sekitar 200 warga Marunda menjadikan nelayan kerang mata pencaharian mereka secara turun temurun. Dalam sehari, para nelayan mengaku bisa mendapat 70-90 kilogram kerang hijau. Sebagian kerang tersebut mereka jual ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) seharga Rp. 7.000 - Rp. 15 ribu per kilogram.
Sebagian lagi mereka masak sendiri dan dihidangkan pada pengunjung Pantai Marunda. Sekitar 1 kilogram kerang dapat dijadikan 10 porsi yang masing-masing dihargai Rp. 5.000. Para nelayan bersikeras telah memasak kerang dengan cara yang benar.
ADISTI DINI INDRESWARI