TEMPO Interaktif, Bogor - Sebanyak 80 peneliti kelelawar dari 20 negara menghadiri Konferensi Kelalawar Kawasan Asia Selatan, Tenggara, dan Timur, di Hotel Royal Bogor, mulai 6 hingga 9 Juni 2011.
Para pakar binatang mamalia ini menggelar pertemuan karena khawatir akan kelangsungan hidup populasi kelelawar yang semakin berkurang.
Dalam konferensi tersebut dikemukakan bahwa kelelawar yang merupakan binatang mamalia bisa terbang tersebut berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Terutama sebagai alat pengontrol penyebaran penyakit malaria melalui nyamuk. “Kelelawar adalah pemangsa serangga,” ujar Dr. Ir. Ibnu Maryanto, Profesor Riset pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada Tempo di Bogor, Selasa, 7 Juni 2011.
Menurut Ibnu, dalam masa kawin dan menyusui, kelelawar mampu mengkonsumsi lebih besar dibanding bobotnya. Rata-rata kelelawar makan empat kali dalam sehari atau sekitar dua jam sekali terbang untuk mencari pakan.
Profesor yang sudah 25 tahun meneliti kalong ini menyebutkan bahwa peran kelelawar dalam mengendalikan penyakit malaria sangat besar. Sebab, seekor kelelawar jenis Hipposideros Diadema dalam satu malam mampu melahap serangga sampai 10 gram atau setara dengan seribu ekor nyamuk. Bahkan kelelawar jenis Myotis Lucifugus dari Amerika bisa memangsa 500 serangga dalam waktu 45-70 menit.
“Bisa dibayangkan jika serangga seperti nyamuk mempunyai berat 0,2 gram, maka dalam satu hari sekelompok kelelawar di gua yang jumlahnya ribuan mampu menghilangkan jutaan nyamuk,” ujar Magister Sains Zoologi IPB Tahun 1995 ini.
ARITHA UTAMA S