TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto mengatakan polemik pembagian rapor yang terjadi di SMP Negeri 1 Cikini, Jakarta Pusat tak seharusnya terjadi. "Menerima rapor adalah kewajiban setiap anak. Itu adalah hal utama dalam proses belajar mengajar," ujar Taufik saat dihubungi Sabtu, 25 Juni 2011.
Menurut dia, pada prinsipnya urusan pembiayaan dan sumbangan pendidikan bukanlah urusan sekolah melainkan sepenuhnya menjadi urusan Komite Sekolah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan anak, kata dia, tidak boleh dicampuradukkan dengan pembiayaan. "Tugas anak adalah belajar dan sekolah harus memberikan layanan dan dukungan," kata dia.
Dia menyebut sebagai proses evaluasi anak seharusnya tidak mendapat hambatan dalam menerima hasil belajarnya. Apalagi, rapor juga bisa menjadi motivasi bagi anak untuk mengukur dan meningkatkan semangat belajar.
Mengenai pembiayaan dan sumbangan, kata Taufik, adalah urusan sekolah dengan orang tua melalui Komite Sekolah. "Harusnya rapor diambil dulu, karena itu yang utama, baru urusan sumbangan diurus belakangan," ujarnya.
Menurut Taufik, kalau rapor baru boleh diambil setelah berurusan dengan Komite Sekolah, hal itu merupakan kesalahan. "Itu tidak diperkenankan," ujarnya tegas.
Dia menambahkan, jika memang ada kesepakatan antara kepala sekolah dan Komite Sekolah mengenai hal ini, Dinas Pendidikan akan menindaklanjutinya. Taufik akan mempelajari terlebih dahulu kasus ini sebelum menentukan sikap.
Jumat, 24 Juni 2011, tujuh perwakilan orang tua murid SMP Negeri 1 Cikini mendatangi kantor Komisi Nasional Perlindungan Anak di Pasar Rebo, Jakarta Timur untuk mengadukan dugaan pelanggaran hak anak yang dilakukan sekolah itu karena menahan rapor beberapa siswa yang belum melunasi sumbangan pendidikan. Selain itu, mereka juga melaporkan penggunaan dana di sekolah yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional itu yang dinilai tak transparan.
Pada tahun ajaran 2010/2011, setiap murid baru diminta memberi sumbangan hingga Rp 7 juta per orang. Selain itu juga ada sumbangan bulanan Rp 600 ribu. Transparansi pengalokasian dana inilah yang juga dilaporkan oleh orang tua yang tergabung dalam Persatuan Orang Tua Peduli Sekolah (POPS) SMPN 1 Cikini.
Mengenai besaran sumbangan yang dibebankan pada siswa, menurut Taufik , merupakan kesepakatan antara orang tua melalui Komite Sekolah. Itu menjadi kewenangan orang tua melalui komite dan diatur dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS). Dari sinilah seluruh orang tua membuat kesepakatan berapa sumbangan yang disepakati. Kesepakatan ini biasanya dibuat setelah sebulan proses belajar mengajar dimulai. "Jadi, harusnya ini menjadi kesepakatan bersama yang sudah disetujui semua wali murid," ujarnya.
Menurut Taufik persoalan sumbangan di sekolah akan menjadi tugas dan tanggung jawan komite sekolah. "Penggunaan dana oleh komite sekolah seharusnya juga diaudit secara terbuka oleh akuntan publik," ujarnya.
Meski begitu, kata dia, pembiayaan pada RSBI ini juga tidak bersifat memaksa pada semua murid. Bagi murid yang berasal dari keluarga kurang mampu akan ada keringanan. "Kewajiban dari sekolah RSBI memberikan kuota murid tidak mampu hingga 20 persen."
IRA GUSLINA