TEMPO Interaktif, Jakarta -Perusahaan Daerah Air Minum Jaya sedang menyiapkan poin-poin gugatan untuk PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sehubungan dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang dianggap tidak adil. "AETRA sudah menyetujui untuk renegosiasi rebalancing kontrak dan tidak menaikkan tarif sampai kontrak berakhir (2016). Tetapi Palyja belum," kata Direktur Utama PDAM Jaya Mauritz Napitupulu di Pejompongan, Rabu 7 September 2011.
Perusahaan air pelat merah ini menilai perjanjian lama tidak adil. Akibat perjanjian itu, PDAM memiliki utang sekitar Rp 153 miliar atas imbalan air (soft fall) yang dialirkan ke pelanggan. Utang kepada kedua perusahaan operator air minum ini hanya untuk tahun 2010. Jika perjanjian ini diteruskan, hingga 2022, jumlah utang PDAM bisa membengkak menjadi Rp 18,2 triliun.
"Ini kan tidak adil. Mereka yang mengelola, mereka yang mengolah air, mereka yang investasi, tetapi ketika ada defisit PDAM yang harus membayar. Padahal kalau pun mereka ada untung tidak ada imbal baliknya buat kita," kata Mauritz.
Indikator ketidakadilan lainnya, kata Mauritz, adalah tidak adanya akuntabilitas PKS. Meski memberikan pelayanan publik untuk warga Jakarta, kedua operator tidak bertanggung jawab kepada warga. Kedua operator hanya bertanggung jawab ke komisarisnya. "Tidak pernah ada laporan pertanggungjawaban ke Gubernur, DPRD dan PDAM Jaya. Padahal warga kan tahunya yang tanggung jawab itu PDAM."
Jika gugatan tidak dikabulkan, PDAM akan mengajukan banding ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia. PDAM juga meminta bantuan Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara. "Tetapi saat ini masih dibantu mediasi oleh BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dan Badan Regulator," katanya.
Hingga berita ini diturunkan Palyja belum juga memberikan tanggapan atas rencana gugatan ini.
ARYANI KRISTANTI