TEMPO Interaktif, - Berbinar-binar mata Nathania Tifara Sjarief, 23 tahun, lulusan terbaik Fakultas Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan, itu menyambut Tempo di rumahnya di Bumi Bintaro Permai, Jakarta Selatan, Jumat, 9 Desember 2011. Potongan rambutnya yang pendek dan kulitnya yang terang dengan pakaian berwarna cerah membuatnya terlihat tanpa kekurangan apa pun.
Padahal, sepanjang hidupnya, Nathania bergantung pada alat bantu dengar yang dipasang di tulang belakang kepalanya. "Alat ini bagian dari tubuhku."
Masalah pendengaran hanyalah salah satu keterbatasan Thania--nama panggilannya. Anak keempat pasangan Karen Tambajong dan Roestam Yarief tersebut juga punya keterbatasan fisik lainnya: sulit berbicara. Gangguan fisik itu terjadi sejak usia Thania masih 2,5 tahun akibat mengalami radang selaput otak (meningitis). Meningitis itu pula yang membuat dia pernah koma selama tiga hari.
"Dokter memvonis harapan hidup Thania sangat kecil," kata Karen, yang ketika itu tinggal di Amerika Serikat. Kalaupun hidup, putrinya akan mengalami cacat mental, buta, dan tuli. Tapi ternyata Thania "hanya" tuli, kehilangan keseimbangan tubuh, dan tidak bisa bicara.
Namun Karen mengubah keterbatasan itu sebagai tantangan untuk tetap memajukan putrinya. Setelah kembali ke Indonesia pada 1995, Thania bersekolah di taman kanak-kanak di Tangerang. Awalnya, di sekolah sempat terjadi masalah. Sebab, Thania tak seperti teman-temannya. Sekolah sempat ingin mengeluarkan Thania, tapi Karen gigih memperjuangkan anaknya agar tetap bersekolah.
Karen berusaha memulihkan Thania dengan menjalani fisioterapi. "Proses bicaranya seperti bayi. Untuk menghafal satu kata saja, harus diucapkan berulang kali, bahkan dengan menggambar obyek. Semua benda di dalam rumah diberi label atau ditulisi untuk menandai nama benda," ujar Karen.
Proses belajar bicara dilakukan hingga Thania kelas V SD. Semakin lama, Thania makin lancar bicara dan kemampuan akademiknya meningkat. Ketika kuliah, Thania sudah bisa berbaur dengan teman-temannya.
Di kampus, ia aktif mengikuti kegiatan dan organisasi. Bahkan ia pernah menjadi ketua panitia acara di fakultas. Prestasi akademiknya di atas rata-rata, yakni dengan indeks prestasi 3,55. "Semua berkat Mama dan dukungan keluarga," kata Thania dengan mata berkaca-kaca.
Prestasi itu membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah hambatan. "Banyak yang bilang saya orang asing, dari Korea atau Jepang," kata Thania, yang kini bekerja sebagai desainer grafis di sebuah perusahaan swasta di Jakarta Selatan, sambil tertawa. Ia bercita-cita menjadi ilustrator buku cetak anak-anak dan berharap keahliannya dapat disumbangkan bagi anak-anak yang bermasalah dengan indra pendengaran.
"Ini mukjizat dari Tuhan," kata Karen. Ia berharap kisah anaknya ini bisa menjadi inspirasi para orang tua yang memiliki anak dengan keterbatasan dan berkebutuhan khusus.
JONIANSYAH