TEMPO.CO, Jakarta - Buang-buang pelor oleh mantan Kepala Kepolisian Metro Jaya Komisaris Jenderal (Purn.) Sofjan Jacoeb bisa jadi karena efek John Wayne Syndrome (JWS). Analisis itu yang diungkap pakar psikologi forensik Universitas Bina Nusantara Reza Indragiri Amriel. "JWS adalah dampak profesi polisi yang sangat sering menyerang sisi insani personelnya," kata Reza dalam percakapannya dengan Tempo, Rabu, 21 Desember 2011.
John Wayne Syndrome adalah pola pikir pemilik baru sebuah senjata, di mana mereka dengan mengokang senjata di jalanan merasa paling kasar, paling kuat, dan paling jahat. "Senjata adalah simbol maskulinitas," tutur Reza. Dengan memegang senjata, bagi polisi, berarti menjadi mahakuasa.
Sebenarnya, sebelum memegang senjata semua polisi harus menjalani pemeriksaan psikologis. Hanya yang lulus tes yang boleh memegang senjata. Pemeriksaan psikologis, dia melanjutkan, sesuai aturan dijalankan berkala. "Tapi saya ragukan keseriusan dalam penyelenggaran tes tersebut, termasuk pemeriksaan berkalanya," ujar Reza.
Polisi yang terserang JWS, kata Reza, biasanya mengembangkan cara-cara negatif saat harus mengatasi keletihan psikologis. "Salah satu bentuknya adalah brutalitas," ucap dia. Jika memang mantan Kapolda tersebut benar-benar terbukti mengumbar tembakan, mungkin saja itu karena jejak JWS. "Mungkin saja jejak JWS yang mengendap dan sekarang meletup kembali," ucap dia.
Nah kini, Reza melanjutkan, tinggal menanti tindakan kepolisian mengusut kasus ini. "Saya tidak begitu yakin karena di kepolisian juga ada the blue curtain," tutur dia. Artinya jika ada jiwa korsa yang menyimpang, cenderung menutup-nutupi kesalahan koleganya.
Kasus umbar tembakan dan penodongan senjata tajam mantan Kapolda Metro Jaya terjadi pada 8 Agustus 2011 lalu. Pelapornya adalah Sugeng Joko Sabiran, petugas keamanan di Taman Resor Mediterania. Karena laporan tak kunjung ditindaklanjuti, Sugeng kemudian bercerita kepada pewarta tentang kasus ini.
DIANING SARI