TEMPO.CO, Jakarta - Latar belakang keluarga atau lingkungan Yohanes Brian Richo, 18 tahun, otak pemerkosaan dalam angkot M-26, harus ditelusuri guna mengetahui motifnya melakukan perbuatan kriminal tersebut. Dari pemeriksaan itu pula juga akan terlihat apakah yang bersangkutan mengalami gangguan psikologis atau itu adalah kriminal murni.
"Bisa saja remaja ini memenuhi kepribadian psikopat, tetapi tentu harus dilakukan pemeriksaan psikologis terlebih dulu untuk mengetahuinya," kata psikolog dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, dalam percakapannya dengan Tempo, Jumat, 30 Desember 2011.
Menurut Hamdi, salah satu unsur yang memenuhi seorang pelaku sebagai psikopat adalah saat diketahui dia tidak merasa bersalah setelah melakukan kejahatan atau justru menikmati kejahatan yang dia lakukan. Jika unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, maka pelaku belum dapat dikategorikan sebagai psikopat dan aksi yang dilakukan kemungkinan besar adalah kriminal murni.
"Umumnya, kriminal murni itu dilakukan oleh orang-orang yang dibesarkan pada lingkungan yang akrab dengan aksi kriminal, dengan tujuan menyambung hidup. Oleh karena itu, harus ditelusuri lebih lanjut pada lingkungan atau keluarga seperti apa dia dibesarkan," kata Hamdi.
Seperti diketahui, Polresta Depok berencana melakukan tes psikologi terhadap Yohanes Brian Richo, otak pemerkosaan dalam angkot M-26 beberapa waktu lalu. Langkah itu dilakukan untuk mengetahui apakah ada kejanggalan dalam diri Yohanes.
Pasalnya, di usianya yang masih remaja, dia sudah melakukan tindak kriminal lebih dari 7 kali dan selalu berakhir dengan melukai korbannya. Kasus yang terakhir, Yohanes melakukan perampokan dan pemerkosaan pada RS, 35 tahun, setelah sebelumnya melukai korban. Perampokan sendiri dilakukan Yohanes bersama-sama dengan Deden Rosadi, 18 tahun, dan M. Saat Dalimunte, 19 tahun.
Menurut Hamdi, berlanjutnya tindakan kriminal memang umum dilakukan jika pelaku juga dibesarkan dalam lingkungan yang sama. "Sebuah kejahatan itu biasanya berkorelasi. Awalnya mungkin hanya merampok, kemudian lanjut dengan pemerasan, pembunuhan, dan lainnya. Apalagi kalau pelaku hidup dalam lingkungan yang keras, biasanya keberanian melakukan kejahatan justru disemangati orang-orang sekitarnya," kata Hamdi.
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menilai tindakan yang dilakukan Yohanes sudah dalam tingkat ekstrem. Dalam artian tidak bisa lagi dikategorikan sebagai kenakalan remaja, tetapi sudah termasuk tindakan kriminal.
"Kasus tersebut sudah termasuk kondisi ekstrem, karena usianya masih 18 tahun dan dia sudah melakukan tindak kriminal hingga 7 kali," kata Adrianus.
Namun begitu, jika nantinya terbukti, pembinaan di penjara dinilai bukan langkah yang tepat untuk menjamin Yohanes dan kawan-kawannya mengulangi kejahatan yang sama. Sebab, jika tidak dibimbing dengan benar, penjara justru akan menjadi tempat bagi mereka mempelajari bentuk-bentuk kejahatan lainnya dari sesama narapidana.
"Bisa saja nanti dia akan menduplikat pengalaman aksi-aksi yang sudah dilakukan narapidana lainnya," katanya.
EVANA DEWI