TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengungkapkan rencananya untuk menyempurnakan regulasi penetapan upah minimum kota/kabupaten. Bahkan, pemerintah berencana menetapkan UMK selama dua tahun sekali. Langkah ini untuk menekan gejolak di kalangan buruh dan pengusaha, karena memiliki tafsir berbeda terkait penyusunan UMK.
“Pemerintah dalam waktu cepat akan terus menuntaskan semua kebutuhan regulasi dalam hubungan industrial" kata Muhaimin di Bogor, Senin 30 Januari 2012. "Termasuk di dalamnya penuntasan tidak ada lagi multitafsir dalam penentuan upah minimum. Tapi kami membutuhkan persamaan persepsi kesepakatan di tri partit (pemerintah, pekerja, dan pengusaha,”
Menurut Muhaimin, selama ini penetapan upah minimum selalu menimbulkan gejolak di kalangan pekerja dan pengusaha. Itu terjadi karena selama ini belum ada kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha, misalnya dalam menetapkan komponen hidup layak dan hidup minimum. Buntut dari tafsir berbeda tersebut contohnya adalah demo ribuan buruh Bekasi di Tol Cikarang.
“Padahal, pengusaha lebih takut kalau ada demo nutup tol dibandingkan dengan menaikan upah pekerja. Karena itu ke depan upah minimum itu harus lebih adil dan memberi kemakmuran bagi pekerja,” ungkap Muhaimin, yang berharap demo buruh seperti di Tol Cikarang tidak terulang kembali. Sebab, aksi tersebut menimbulkan banyak dampak, termasuk larinya investor asing.
Terkait gejolak di kalangan buruh dan pengusaha yang selalu terjadi setiap setiap tahun penetapan upah minimun, Menakertrans menyatakan pemerintah berencana menyusun upah minimum yang berlaku selama dua tahun. “Itu akan menjadi fenomena dalam tri partit nasional. Kita serahkan dalam forum tersebut”.
Sementara itu, Presiden KSPI Thamrin Musi berharap pemerintah menghapus kebijakan outsourching dan tenaga kontrak. Hal tersebut dinilai merugikan pekerja, dan termasuk kategori eksploitasi terhadap tenaga kerja. “Ke depan harus dipastikan tidak ada lagi eksploitasi pekerja,” ujarnya di hadapan 250 peserta Kongres Nasional III KSPI.
Dia juga menilai tak manusiawi bagi perusahaan yang selama ini menerapkan status magang bagi tenaga kerjanya. Sebab, upah pekerja magang cenderung tidak layak dan jauh dari standar upah minimum yang ditetapkan pemerintah. “Magang lebih sadis lagi dibanding outsourching an kontrak. Upahnya juga lebih sadis dari UMK. Magang tapi kok produksi,” kata Thamrin.
ARIHTA U SURBAKTI