TEMPO.CO, Jakarta - Belasan orang tampak mengular di depan sebuah loket pelayanan. "Yang tertib, ya, Bu. Kalau enggak, tidak akan dilayani," ucap seorang petugas di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng, Jumat, 22 Februari 2013. Satu per satu pasien yang mengantre untuk berobat jalan menyerahkan berkas kependudukan, seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.
Saripah, 42 tahun, terlihat duduk di kursi besi tak jauh dari antrean pasien jalur Kartu Jakarta Sehat (KJS). Dia sedang menunggu fotokopi berkas persyaratan untuk mendapatkan rujukan resep dari dokter. "Bapak saya patah kakinya dan sekarang sedang rawat jalan," ucap Saripah di RSUD Cengkareng.
Antrean demi antrean mesti dijalani oleh warga Pedongkelan ini. Selain harus mengantre mendapatkan nomor urut untuk diperiksa dokter, Saripah juga mesti mengantre untuk verifikasi data dan mengambil resep obat. "Harus sabarlah kalau lewat KJS," kata dia.
Muhamad Safie, 67 tahun, ayah Saripah, merupakan pasien rawat jalan yang memanfaatkan KJS. Pada tahap awal, ia memilih pengobatan biasa untuk mengobati patah kakinya di bagian kanan. "Habis Rp 33 juta buat berobat dua pekan," kata Saripah.
Atas saran seorang perawat, Saripah diarahkan mengambil KJS untuk berobat jalan ayahnya. Sudah hampir sebulan ayahnya menjalani pengobatan jalan dengan menggunakan Kartu Jakarta Sehat. "Lumayan gratis, tapi mesti sabar ngantre tiap kali periksa," kata Saripah.
Selama berobat jalan, ayah Saripah pernah dirawat di ruang kelas III. Ia menuturkan, kelas III selalu penuh terisi pasien. Setiap kali ada pasien yang keluar, tempat tidur langsung terisi lagi. "Tapi untuk kelas II sepi. Saya tahu ketika ibu dirawat di kelas II dua bulan lalu," kata dia.
Nasib serupa dialami oleh Biyah, 52 tahun, warga Cengkareng yang berobat setelah operasi tenggorokan. Tiap kali periksa dan mengambil resep obat, Biyah mesti antre. Setiap kali berobat jalan, Biyah mesti mempersiapkan segala berkas-berkas.
Adapun Mulyadi, 35 tahun, mengaku tak masalah bila harus mengurus beragam surat dan menghadapi antrean yang mengular. Awalnya, Mulyadi membawa anaknya ke puskesmas. Tetapi, karena demamnya tak kunjung reda, ia meminta rujukan berobat ke RSUD. "Yang penting anak saya bisa dirawat dan cepat sembuh," katanya.
Di depan loket pemeriksaan, berkas belasan pasien tertumpuk untuk verifikasi data pasien. Setiap pasien diminta menyerahkan fotokopi KTP, kartu keluarga, dan surat rujukan dari puskesmas. Rata-rata pasien atau kerabatnya mengantre selama 20 menit.
ADITYA BUDIMAN
Berita terpopuler lainnya:
Rumah Pondok Indah Bukan Lagi Rumah
Ahok: Premi Kartu Jakarta Sehat Rp 23 Ribu
Dari Pulau Buatan, Jakarta Punya Pelabuhan Baru
Astaga! Mayat Bayi Dibuang di Pot Bunga
YLKI Desak Kemenkes Lakukan Investigasi
RS Kurang Dokter, Jokowi Ajukan 110 Dokter Baru