TEMPO.CO, Jakarta - Kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan penyair Sitok Srengenge terhadap seorang mahasiswi telah membetot perhatian publik baik di media massa maupun media sosial. Dalam soal kasus ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta meminta media tidak terjebak dalam pemberitaan yang tak sensitif terhadap korban.
"Prinsip hati-hati, empati, dan sikap bijaksana sangat dituntut dalam setiap pemberitaan seputar kekerasan seksual seperti yang sedang dialami oleh seorang mahasiswi saat ini," kata Ketua AJI Jakarta Umar Idris dalam rilisnya, Rabu, 3 Desember 2013.
Menurut dia, prinsip-prinsip di atas perlu dipegang agar pers dapat berkontribusi melindungi korban sekaligus tidak kehilangan peran mendorong penegakan hukum, serta bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual lainnya.
Pemberitaan seputar kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh penyair Sitok Srengenge terhadap seorang mahasiswi, kata Umar, telah menjadi perhatian publik. Di tengah sorotan publik terhadap kasus ini, media rentan terjebak dalam pemberitaan yang merugikan korban kekerasan.
Untuk itulah AJI Jakarta mengimbau agar dalam setiap pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual, media senantiasa mengacu pada kode etik jurnalistik. "Bahwa jurnalis tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila. Perlindungan identitas korban harus diutamakan antara lain dengan tidak menuliskan nama, alamat, ciri-ciri fisik, dan hal lain yang mengarahkan kepada identitas korban," kata Umar.
Jurnalis perlu memahami konteks masalah, melakukan pengecekan secara menyeluruh, memilih sumber yang sesuai dan memiliki kredibilitas, serta meminimalisasi generalisasi ataupun stereotip dalam pemberitaan.
Selain itu, AJI Jakarta mengimbau media agar memberitakan secara lebih menyeluruh dan berimbang, tidak sepotong-sepotong. Misalnya, tidak hanya memberitakan dari sisi pelaku kekerasan seksual, tapi juga melaporkan testimoni dari korban dalam satu pemberitaan.
AJI Jakarta juga mengimbau media menggunakan bahasa yang netral, tidak sensasional, atau mendramatisasi masalah, serta berhati-hati dalam menuliskan detail kasus agar tidak terjerumus dalam pemberitaan yang malah menyalahkan korban.
"Pemuatan gambar korban dan keluarganya, gambar tempat tinggal atau tempat kuliah, walaupun disamarkan atau diburamkan, masih berpotensi mengarah pada terungkapnya identitas korban. Karena itu, pemuatan gambar-gambar tersebut sebaiknya juga dihindari," kata Umar.
AMIRULLAH