TEMPO.CO, Jakarta - Erri Kurniawati, 33 tahun, tak henti-hentinya mengeluhkan penerapan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Mulai dari molornya pencairan dana hingga sulitnya memperpanjang jatah KJP pada tahun ini. "Ribet pokoknya. Pemerintah seperti enggak niat memberi bantuan," kata warga RT 09 RW 02 Kampung Melayu ini kepada Tempo, Jumat, 20 Februari 2015.
Kegusaran Erri itu berawal dari surat yang diteken Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 4 Desember 2014. Peraturan Gubernur Nomor 159 Tahun 2014 itu menginstruksikan sekolah untuk menyurvei calon penerima KJP 2015 ke rumah-rumah.
Erri mengatakan sekolah mengirimkan guru ke rumah-rumah siswa untuk mendata calon penerima KJP. Seusai kunjungan guru, Erri menceritakan, warga yang semula memegang KJP dan diketahui memiliki rumah tembok, televisi layar datar, sepeda motor, dan ponsel mahal dilarang menjadi penerima kartu tersebut tahun ini. "Saya akhirnya mundur daripada kesulitan mengurus syaratnya," kata perempuan yang tinggal di rumah semipermanen sekitar 10 meter dari bibir Kali Ciliwung ini.
Rusyu Utama, 35 tahun, juga menyayangkan ketatnya syarat yang harus dipenuhi warga untuk menerima KJP 2015. Dia mengungkapkan, pemerintah kini meminta calon penerima KJP meneken perjanjian di atas materai setelah rampung disurvei. Perempuan warga RT 15 RW 03 Kampung Melayu ini mengatakan warga akan dikenai sanksi bila harta mereka yang sebenarnya tak sesuai dengan yang dilaporkan saat disurvei. "Takut pokoknya," kata Rusyu.
Kepala Suku Dinas Pendidikan Jakarta Timur Ari Budiman membantah anggapan bahwa pengurusan KJP tahun ini menjadi sulit dan ketat. Menurut dia, calon penerima KJP hanya perlu melampirkan surat keterangan tak mampu dari kelurahan. Tapi, tahun ini ada tambahan syarat kunjungan dari sekolah untuk menjaga dana bantuan tepat guna. "Sekolah yang tahu siswa tersebut layak atau tidak menerima KJP," kata Ari.
RAYMUNDUS RIKANG