TEMPO.CO, Jakarta - Proses mediasi antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pagi ini akan menentukan nasib Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2015. Dana sebesar Rp 73 triliun bisa segera dimanfaatkan jika kedua belah pihak bisa menemui kata sepakat di meja perundingan. Bagaimana jika tidak?
Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenoek menjelaskan proses mediasi bisa saja menemui jalan buntu jika kedua pihak ngotot pada pendiriannya masing-masing. "Jika terus seperti itu, tentu harus ada keputusan politik," kata Reydonnyzar, ketika dihubungi Tempo, Kamis, 5 Maret 2015.
Reynonnyzar menjelaskan keputusan politik harus diambil Menteri Dalam Negeri untuk menjamin penggunaan anggaran bagi pembangunan. Kebijakan itu merujuk pada ketentuan Pasal 8, 314, dan 377 Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Begitupun dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dalam keadaan tersebut, Kementerian Dalam Negeri akan mengevaluasi program dan kegiatan yang tercantum dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Dengan dasar itu, Gubernur akan merancang kembali APBD baru yang basis pagu anggarannya merujuk pada anggaran tahun sebelumnya.
"Gubernur bisa membuat kebijakan anggaran baru. Karena dalam keadaan mendesak, sesuai Pasal 65 UU Nomor 23 Tahun 2014, pejabat pemerintah daerah memiliki diskresi untuk mengambil keputusan," kata Reydonnyzar. "Nanti akan ditentukan, program dan kegiatan terhadap sisa bulan berjalan di 2015. Dan itu harus betul-betul urgen."
Berdasarkan pengalaman, menurut Reydonnyzar, cepat atau lambatnya proses mediasi sengketa anggaran tergantung pada sikap kedua belah pihak. "Kalau sengketa ini terus berkepanjangan, program pembangunan strategis bagi warga Jakarta otomatis akan ikut tertunda. Ini yang harus dipertimbangkan," katanya.
Dokumen APBD DKI Jakarta menuai polemik setelah Gubernur Ahok, panggilan akrab Basuki Tjahaja, mensinyalir ada anggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun dalam dokumen yang disahkan DPRD. Anggaran itu diplot untuk proyek pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan dan nilainya tidak sesuai harga pasar.
Perbedaan itu membuat AHOk menolak menyerahkan dokumen versi DPRD kepada Kementerian Dalam Negeri. Ia pun melaporkan kasus tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, langkah itu malah direspon DPRD dengan menyepakati penggunaan hak angket. Menurut rencana, sengketa antara keduanya akan dimediasi Menteri Dalam Negeri pagi ini.
RIKY FERDIANTO