TEMPO.CO, Jakarta - Kematian Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby, pekerja prostitusi, membuat gempar masyarakat. Sebab dari peristiwa itu terungkap fakta bahwa prostitusi telah merambah dunia maya. Peristiwa itu berturut-turut diikuti dengan penggerebekan remaja di bawah umur yang diduga sebagai pekerja prostitusi di Apartemen Kalibata City. Puncaknya ialah terbongkarnya jaringan prostitusi yang digawangi Robby Abbas, 32 tahun, yang melibatkan artis dan model bertarif selangit.
Media massa tak dimungkiri ikut berkontribusi menjadikan topik prostitusi online berkembang kian masif. Aliansi Jurnalis Independen menilai derasnya pemberitaan prostitusi dipicu kompetisi media di era industrialisasi.
“Seolah-olah bila satu media memberitakan, lainnya juga harus ikut agar tak kehilangan ceruk bisnis,” kata Ketua AJI Suwardjono kepada Tempo, Jumat, 15 Mei 2015.
Tak hanya menyangkut kompetisi dalam hal pemberitaan, menurut dia, perkembangan berita prostitusi belakangan ini sudah melenceng dari koridor dan etika jurnalisme. Suwardjono mencontohkan pemberitaan selebaran gelap yang berisi inisial artis dan model yang diduga terlibat prostitusi kelas wahid.
Dalam fenomena itu, dia menambahkan, media terjebak dengan memproduksi berita yang berbasis pada rumor. “Sumbernya tak jelas dan bisa mengarah pada jurnalisme kuning,” ujarnya.
Dia menambahkan, sebetulnya sah-sah saja media memberitakan prostitusi. Tapi berita sebagai produk kerja jurnalistik tak boleh keluar dari koridor fakta. “Fokus saja pada substansi kriminalnya, jangan mengeksploitasi hal yang masuk dalam ranah privasi, seperti profil keluarga pelacur,” tutur Suwardjono.
Belajar lewat kehebohan berita prostitusi online, Suwardjono menyarankan media mulai menegaskan batas-batas informasi, apakah menyangkut kepentingan publik atau sekadar ranah privasi. Jika kasus prostitusi itu meresahkan masyarakat, media wajib mengungkap dalam bingkai modus pelaku.
Sebaliknya, bila fenomena ini menjurus pada domain personal, misalnya identitas pekerja prostitusi dan profil keluarga mereka, media tak perlu menjamah ranah tersebut. “Pekerja media juga harus punya empati.”
RAYMUNDUS RIKANG