TEMPO.CO , Depok: Keberadaan lahan belimbing terus menyusut di Kota Depok. Padahal, buah berbentuk bintang tersebut dijadikan ikon Depok yang dijuluki Kota Sejuta Belimbing. Yang memprihatinkan, kurun waktu lima tahun terakhir 36 hektar lahan belimbing lenyap dan beralih fungsi menjadi pemukiman.
Ketua Asosiasi Belimbing Depok, Nanang Yusup mengatakan miris melihat pemerintah seakan menutup mata dengan situasi ini. Petani belimbing dewa di Depok, seakan berjalan sendiri.
Ia menilai pemerintah belum pro ke petani belimbing, pembinaan pun sangat minim. "Padahal sudah dijadikan ikon kota. Tapi tidak ada keberpihakan kepada para petani yang hampir semuanya warga Depok," kata Nanang, Minggu, 24 Mei 2015.
Menurutnya, belimbing dewa bisa terus dijadikan maskot kota, asalkan pemerintah mau melihat potensi buah lokal Depok. Sebab, belimbing dewa asal Depok, terpilih menjadi buah dengan kualitas nomor wahid di Indonesia pada kontes buah nasional tahun 2000.
Nanang, saat ini membina lebih dari 500 petani belimbing dewa di Depok. Luas lahan belimbing yang menjadi binaannya ada seluas 20 hektar. Setiap tahun ada tiga kali musim buah dengan nama Latin Averhoa bilimbi itu, tiga kali. "Dipanen tiga kali setahun. Setiap 1 hektar ada 150 pohon. 1 pohon bisa menghasilkan 200-250 kg," ujarnya.
Karena kualitasnya yang baik, tak jarang Nanang mengampu banyak warga asing untuk membudidayakan belimbing dewa. Mulai dari Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang, dan sebagian besar warga timur tengah meminta diajarkan budidaya belimbing ini, ke rumah dan kebunnya di wilayah Kali Licin, Kecamatan Pancoran Mas, Depok.
Ia berharap Depok bisa membeli lahan abadi yang khusus ditanami belimbing dewa. Pembelian lahan tersebut untuk menjaga agar keberadaan ikon ini agar tetap bertahan. "Seharusnya seperti Bekasi yang membeli lahan abadi untuk pertanian. Bila tidak, nasib belimbing dewa bisa terancam," selorohnya.
Sekretaris Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok, Mukhsit Hakim tak menapbik bahwa keberadaan lahan belimbing semakin menyusut.
Selain terjadi penyusutan lahan, jumlah kelompok tani yang sebelumnya berjumlah 31 kelompok pada 2010, kini tinggal 18 kelompok tani belimbing, yang beranggotakan 675 orang yang masih aktif. "Saat ini tinggal 96 hektar lahan belimbing di Depok," jelasnya.
Ia menuturkan pemerintah telah berupaya memproteksi potensi unggulan lokal seperti belimbing Depok. Salah satunya dengan memasukan lahan belimbing yang tersisa ke dalam ruang terbuka hijau yang sudah masuk ke peraturan daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok.
Ia mengatakan, lahan belimbing tersebut trlah dimasukan sebagai kawasan pertanian. "Target RTH di Depok yang tertuang di RTRW 2012-2013 ada 4.000 hektar," jelasnya. "Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang RTH, paling sedikit 30 persen dari luas daerah harus dipenuhi."
Meski begitu, Mukhsit menuturkan aturan penetapan lahan belimbing sebagai kawasan RTH, yang tertuang di RTRW Depok, masih lemah. Sebab, seluruh lahan pertanian belimbing milik pribadi atau garapan petani.
Jadi, bila sewaktu-waktu lahan tersebut ingin digunakan pemilik, sulit untuk mencegahnya. "Tapi, kami telah berkoordinasi dengan BPN dan Distarkim (Dinas Tata Ruang dan Pemukiman) lahan belimbing yang telah masuk RTH hanya boleh dibangun 20 persen saja dibangun," jelasnya.
Sebab, perubahan RTRW selama lima tahun ini tidak bisa diutak-atik. Pihaknya juga sudah mencoba melakukan sosialisai terkait aturan ini. "Itu usaha yang paling maksimal untuk menyelamatkan lahan belimbing Depok," jelasnya.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Depok, Farida Rachmayanti mengatakan belimbing Depok yang jadi ikon kota ini belum terkelola secara komprehensif. Bahkan, masih terlihat setengah hati dan tidak secara berkesinambungan. "Padahal dijadikan ikon. Pemberdayaan potensi lokal ini belum berjalan," ujar dia.
Menurut dia, pemerintah perlu memfasilitasi dan melakukan pendampingan untuk memberdayakan para petani belimbing. Selain itu, pemerintah mesti memberikan bantuan mulai dari sisi produksi, distribusi, akses pasar hingga diversifikasi produk.
Komisi B sudah sejak periode yang lalu teriak tentang wisata agro belimbing. Sebab, menurut dia lagi, harus ada pemicu dari sektor lain yang membuat belimbing Depok naik tingkat. Salah satu caranya, Farida mencontohkan, pemerintah bisa membeli lahan atau bekerjasama dengan pemilik lahan belimbing, untuk membuat usaha agro belimbing.
Selain itu, beberapa UKM pembuat produk olahan belimbing juga harus didukung. "Belimbing sudah diolah menjadi jus, selai dan dodol belimbing. Tinggal pendampingan untuk meluaskan pasarnya," ujar dia.
Menyusutnya lahan belimbing di Depok, dinilai wajar. Sebab, tindakan pemerintah minim dalam upaya penyelamatan lahan. Sehingga wajar kalau akhirnya mereka lebih memilih menjual lahan dan beralih usaha. "Ujung-ujungnya lahan dijual buat rumah kontrakan yang jelas, dan perumahan," ucapnya.
Meski begitu, menurut dia, belimbing masih relevan dijadikan maskot Depok. Sebab, sejak semula belimbing Depok memiliki kekhaasan dan hanya Depok yang punya belimbing jenis Dewa. Makanya belimbing itu dijadikan ikon.
Hanya saja, dia berujar, kemampuan memberi nilai tambah untuk nilai jual dan penyelamatan lahan masih lemah. "Pemberdayaan masyarakatnya belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Mereka seolah jalan sendiri," tuturnya.
IMAM HAMDI