TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengklaim informasi yang diberikannya kepada penyidik sangat penting untuk membongkar kasus korupsi pengadaan alat catu daya listrik cadangan atau UPS. Sebab, kata dia, polisi menjadi paham mulai proses penyusunan hingga pembelanjaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan pada 2014.
“Penyidik menjadi tahu kalau pembelian UPS itu bukan prioritas program dan tak tercantum dalam kebijakan umum anggaran (KUA) serta prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS),” ucap Ahok setelah diperiksa Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Rabu, 29 Juli 2015.
Ahok lantas menguraikan secara singkat proses penganggaran. Menurut dia, sebelum anggaran disepakati, Gubernur DKI dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terikat oleh nota kesepakatan. Hal itu menyangkut program prioritas yang harus dikerjakan Pemerintah Provinsi DKI. “Program utama waktu itu mengatasi banjir rob, pengelolaan sampah, dan rehabilitasi sekolah,” ujarnya.
Dia menyatakan sangat mengingat bila pembelian UPS tak tercantum dalam nota kesepakatan yang diteken bersama antara lembaga eksekutif dan legislatif. Apalagi, tutur Ahok, Lasro Marbun, yang kala itu menjabat Kepala Dinas Pendidikan, juga memastikan tak ada sekolah yang mengusulkan pembelian alat tersebut. “Jadi memang pembelian UPS muncul tiba-tiba,” kata Ahok.
Dia mengaku juga meluruskan pemahaman penyidik yang mengira pembelian UPS merupakan hasil penjaringan aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui anggota Dewan dan sifatnya tak boleh ditolak. Menurut Ahok, aspirasi masyarakat ialah usulan warga ketika anggota Dewan menjalani masa reses. “Bukan berarti mereka bisa usul UPS,” ucap Ahok.
Ahok diperiksa sebagai saksi dengan tersangka Alex Usman dan Zaenal Soleman. Dia disodori 21 pertanyaan oleh penyidik yang memeriksanya selama lima jam sejak pukul 10.30 sampai 15.30 WIB. Alex dan Zaenal diduga menggelembungkan dana pembelian UPS dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja DKI Jakarta 2014.
Alex berperan sebagai pejabat pembuat komitmen pengadaan UPS di Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat, sementara Zaenal Soleman di Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Pusat. Akibatnya, negara ditaksir merugi hingga Rp 50 miliar dalam kasus ini.
Kasus pengadaan UPS terungkap setelah Ahok melaporkan kasus tersebut ke aparat hukum. Ia menduga ada praktek penggelembungan dalam pengadaan alat ini senilai Rp 5,8 miliar per unit. Menurut informasi, harga satuan UPS kapasitas 40 kilovolt ampere (kVA) sekitar Rp 100 juta. Kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 50 miliar. Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
RAYMUNDUS RIKANG