TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Singapura memutuskan Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong, dua guru di Jakarta International School (JIS), memenangi gugatan pencemaran nama baik yang dilakukan DR, ibu anak berusia 6 tahun siswa di sekolah tersebut, yang disebut sebagai korban pelecehan seksual. Namun putusan tersebut tak akan mengubah vonis pengadilan di Indonesia.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Made Sutrisna mengatakan putusan pengadilan Singapura tidak mempengaruhi putusan pengadilan Jakarta. Sebelumnya, Bantleman dan Tjiong divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan penjara. "Putusan di Singapura tak mengikat di sini (Jakarta)," kata Made, saat ditemui Tempo di ruang kerjanya, Kamis, 30 Juli 2015.
Menurut Made, putusan tersebut juga tak akan mempengaruhi sidang perdata JIS yang akan dilaksanakan 10 Agustus mendatang. Putusan di Singapura, kata dia, juga tak bisa menjadi dalil yang dapat meringankan kasus pelecehan seksual di JIS. "Kecuali jika ada bukti esensial yang mampu menjadi pertimbangan, tetapi hanya pertimbangan dan bukan meringankan," kata dia.
Baca juga:
Banser di Ring 1 Muktamar NU Kebal Senjata
Awas, Beredar Gas Elpiji Isi Air di Jakarta Barat
Dalam pembacaan putusan April 2015, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Nur Aslam Bustaman memvonis dua guru JIS itu bersalah. Vonis tersebut diklaim berdasarkan bukti-bukti fakta, seperti hasil pemeriksaan forensik sejumlah rumah sakit, serta beberapa keterangan sejumlah saksi yang diajukan jaksa penuntut umum dalam persidangan yang berjalan sejak Desember 2014.
Sebaliknya, Pengadilan Singapura memutuskan bahwa Neil dan Ferdi tidak terbukti melakukan tindak kekerasan seksual terhadap AL, 16 Juli lalu. Putusan dengan nomor perkara 779 tahun 2014 itu mengharuskan DR membayar ganti rugi total sebesar 230 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp 2,3 miliar.
Kuasa hukum Bantleman dan Tjiong, Patra M. Zen, berharap kemenangan itu bisa menjadi alat bukti hukum baru bagi kliennya dalam proses banding di Pengadilan Tinggi nanti. "Pengadilan Singapura dalam persidangan menggunakan alat bukti berupa visum rumah sakit,” kata Patra, saat dihubungi Tempo, Kamis, 30 Juli 2015.
Dari keterangan visum dokter rumah sakit KK Women and Children Singapore, kata Patra, tidak terbukti ada tindak pelecehan seksual pada tubuh korban. Sedangkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menurut Patra, tidak menggunakan surat visum dokter sebagai bukti dalam putusannya. "Alasannya, alat bukti dari luar negeri tidak bisa digunakan dalam sistem hukum di Indonesia."
Adapun putusan dari pengadilan Singapura itu muncul, menurut pengacara JIS, Harry Ponto, karena laporan pertama kali DR ke media yang menuding guru JIS melakukan pelecehan seksual terhadap anaknya berasal dari Singapura. "Makanya, kami menyarankan dua guru itu melayangkan gugatan di pengadilan Singapura."
Namun Harry mengakui bahwa putusan Pengadilan Singapura tidak akan dipakai sebagai bukti pengajuan banding. Dalam kasus pidana, kata dia, kliennya terbukti dan banding sudah berjalan. “Kalau di Pengadilan Singapura, kami hanya dari unsur perdata pencemaran nama baik saja."
Hukuman dua guru ini lebih tinggi dibandingkan dengan lima petugas kebersihan dalam kasus yang sama di JIS. Hukuman itu dijatuhkan Desember 2014 terhadap empat petugas kebersihan pria dengan delapan tahun penjara dan satu petugas wanita dengan vonis tujuh tahun penjara.
DINI PRAMITA| REZA ADITYA
Berita Menarik:
Kasus Dwelling Time, Potensi Suap Mencapai Puluhan Miliar
Begini Awal Penemuan Puing MH370 oleh Pembersih Pantai