TEMPO.CO, Tangerang - Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kabupaten Tangerang menyebutkan warga di 20 kecamatan di wilayah pesisir utara Kabupaten Tangerang saat ini mulai mengalami krisis air. "Krisis air bersih dan air irigasi," ujar Kepala Bidang Perencanaan Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kabupaten Tangerang Iwan Firmansyah, Senin, 3 Agustus 2015.
Menurut dia, kekeringan yang melanda saat ini cukup parah, terlebih puncak kekeringan terjadi Agustus-Oktober mendatang. "Saat ini saja sudah kering, belum masuk puncaknya," kata Iwan. Selain kemarau yang panjang, kata Iwan, kekeringan yang terjadi di Kecamatan Pasar Kemis, Rajeg, Sepatan, Sepatan Timur, Mauk, Pakuhaji, Teluk Naga, Kresek, Kronjo, Kemiri, Sukadiri disebabkan rusaknya dua saluran irigasi induk di wilayah itu.
Sumber pengairan dan air baku wilayah pesisir utara Kabupaten Tangerang selama ini bergantung pada saluran induk wilayah Cisadane Barat dan Saluran Indum Cidurian. "Dua saluran induk ini mengalami kerusakan hingga 70 persen, tanggul rusak dan sedimentasi yang parah, pintu air pun rusak," ujarnya.
Kondisi ini menyebabkan air Sungai Cisadane dan Cidurian tidak bisa mengalir sampai ke wilayah hilir tersebut. "Jadi kekeringan parah di semua kecamatan di wilayah utara," tutur Iwan. Rusaknya dua saluran induk itu secara otomatis membuat puluhan saluran irigasi sekunder kering kerontang.
Menurut Iwan, kekeringan menyebabkan lahan persawahan menjadi kering dan tandus. Sumur warga juga mengalami kekeringan. Berdasarkan pantauan Tempo, kekeringan cukup parah terjadi di Kecamatan Sukadiri, Kemiri, dan Pakuaji. Lahan persawahan sudah banyak yang retak dan tanaman padi mulai berwarna kuning dan kering. "Kalau sudah begini pastinya gagal panen," ucap Aliudin, 40 tahun, petani di Sukadiri.
Untuk air bersih, warga juga sudah mulai menjerit. "Sumur kami sudah lama kering. Kalaupun ada air, rasanya asin seperti air laut," kata Masnin, 35 tahun, warga Kampung Tanjung Kait, Desa Tanjung Anom, Pakuaji.
Sebagai pengganti air bersih, warga membeli air pada tukang air keliling. "Satu jerikennya Rp 5.000, dalam sehari bisa habis sepuluh jeriken," ujar Masnin, yang memiliki enam anggota keluarga.
Bagi Masnin, yang hanya nelayan kerang hijau, biaya untuk membeli air itu sangatlah mahal dan menyulitkan mereka. "Tapi mau bagaimana lagi, itu pun sudah diirit untuk minum, masak, dan mencuci," tuturnya.
JONIANSYAH