TEMPO.CO, Jakarta - Setelah berjalan selama tiga tahun, proyek reklamasi Teluk Jakarta membuat nelayan kehilangan mata pencahariannya. Beberapa nelayan terpaksa berubah haluan mencari pekerjaan lain.
"Ada 100-150 yang nelayan terpaksa beralih profesi menjadi pemulung," kata Muhammad Taher, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
Taher mengaku semula ia adalah nelayan tradisional. Semenjak proyek reklamasi berjalan, mau-tak mau, ia berganti profesi menjadi pedagang ikan.
Selain menjadi pemulung, ucap Taher, para nelayan ada yang beralih profesi menjadi sopir angkot atau pedagang ikan yang mengambil ikan dari daerah lain, seperti Cirebon dan Juwana. "Apa pun itu, yang penting bisa makan, anak bisa sekolah. Yang penting, ada penghasilan."
Terkait dengan penghasilan, menurut Taher, semula ia bisa mengantongi Rp 300-500 ribu per hari. "Tapi sekarang dapat Rp 100 ribu aja udah bagus," ujarnya. Menurut Taher, rata-rata nelayan yang beralih profesi kini berpenghasilan Rp 35-50 ribu per hari.
Sekretaris KNTI Untung Sukaedi menuturkan nelayan tak lagi melaut. Sebelum ada proyek tersebut, nelayan hanya cukup berlayar sejauh 5 mil untuk mencari ikan. "Sejak ada proyek, jadi harus di atas 10 mil kalau mau melaut. Kalau tidak, akan dikejar oleh patroli lalu ditenggelamkan," katanya. Padahal, ucap Untung, tak semua nelayan memiliki kapal yang sanggup berlayar hingga 10 mil.
Untung juga menceritakan soal kapal nelayan yang mendadak hilang. "Ada ratusan kapal nelayan, ya sekitar seratus, yang tiba-tiba hilang," ucapnya. Padahal, menurut Untung, harga satu kapal sebesar Rp 35-45 juta. Akibat intimidasi seperti ini, banyak nelayan nekat menjual kapal untuk modal beralih profesi.
Atas semua kerugian yang diderita nelayan, Untung dan Taher mengatasnamakan KNTI menggugat Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. Dalam menggugat, mereka didampingi tujuh lembaga bantuan hukum dan organisasi lingkungan.
DINI PRAMITA