TEMPO.CO, Jakarta - Reklamasi teluk Jakarta menuai pro dan kontra, tak terkecuali di kalangan nelayan dan penduduk yang tinggal di sekitaran daerah reklamasi tersebut. Salah satu daerah tersebut adalah daerah Muara Angke di Jakarta Utara.
"Menganggu, sih, iya, tapi kan hanya sementara saja. Nanti kalau sudah selesai juga tidak akan begitu lagi,” ujar Salim Gunawan, salah satu ketua kelompok di kampung nelayan Muara Angke kepada Tempo, Rabu, 28 Oktober 2015.
Salim menuturkan bahwa proyek reklamasi akan menghasilkan lumpur di laut pada awalnya. “Sama seperti Pantai Mutiara, dulu kan juga begitu. Namun sekarang kan tidak lagi,” kata Salim.
Ia juga menyanggah kabar bahwa reklamasi menyebabkan nelayan kehilangn pekerjaan dan akhirnya menjadi pemulung dan sopir angkot. “Sebelum reklamasi pun juga begitu. Kebanyakan nelayan adalah pekerja serabutan,” kata dia.
Dari informasi yang diberikan petugas kebersihan dan keamanan di sekitar pelabuhan, tidak ada protes penduduk terkait reklamasi.
Suara berbeda datang dari Kepala Desa Muara Angke, Arpani. Ia mengatakan warganya protes dengan proyek reklamasi yang ada di Teluk Jakarta tersebut. “Katanya, mereka kesulitan menangkap ikan di pinggir laut. Harus ke tengah laut dulu,” ujar dia saat dihubungi Tempo.
Arpani membeberkan bahwa keluhan ini hanya datang dari nelayan dengan kapal kecil saja. “Kalau yang kapalnya besar kan memang biasa ke tengah laut,” kata dia.
Kesatuan Nelyan Tradisional Indonesia bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan reklamasi Teluk Jakarta harus dihentikan, karena merusak lingkungan dan membuat sebagian nelayan kehilangan mata pencarian serta hanya menguntungkan pengembang saja.
BAGUS PRASETIYO