TEMPO.CO, Jakarta - Kisruh berkepanjangan pengelolaan sampah di Jakarta tak bisa diselesaikan hanya dengan solusi jangka pendek. Jakarta bisa belajar mengelola sampah dari kota-kota ini:
1. Songdo, Korea Selatan
Kota pusat bisnis ini memiliki sistem pembuangan sampah yang disebut "Zona Ketiga Pengelolaan Sampah Otomatis". Semua sampah di Songdo diisap dalam pipa bawah tanah. Kemudian di bawah tanah, secara otomatis, sampah akan disortir sesuai jenis, didaur ulang, dikubur, atau dibakar untuk menghasilkan listrik.
Pipa bawah tanah ini terhubung dengan tempat sampah seluruh bangunan di Songdo. Mulai dari kantor, apartemen, dan tempat ibadah. Akibatnya, di jalanan kota tidak ada truk sampah yang lalu lalang atau tempat sampah di pinggir jalanan. Sistem pembuangan sampah semacam ini merupakan yang pertama di dunia. Hanya dibutuhkan tujuh pekerja untuk mengelola sampah dari 70 ribu penduduk Songdo.
2. Tokyo, Jepang
Di kota berpenduduk 37 juta jiwa ini, budaya mengelompokkan sampah sesuai jenisnya sangat mengakar. Secara prinsip, sampah dibagi dalam empat jenis, yaitu sampah bakar (combustible), sampah tidak bakar (non-combustible), sampah daur ulang (recycle), dan sampah ukuran besar. Bila sampah tidak dikelompokkan sesuai jenis, petugas tak akan mengangkut sampah. Bahkan, ada jadwal hari tertentu yang mengatur jenis sampah apa yang akan diambil petugas. Hal ini berlaku bagi rumah tangga, kantor, dan bangunan lain.
Seperti di Jakarta, Tokyo juga menghasilkan 6.000 ton sampah per hari. Namun, alih-alih bergantung pada tanah kosong untuk mengubur sampah, tempat pengolahan sampah di Tokyo terdapat di setiap distrik atau kecamatan dan dibuat layaknya pabrik modern.
Untuk sampah basah, misalnya, akan dibakar, dan ampasnya digunakan untuk menjadi cone block atau lapisan jalanan yang banyak digunakan di trotoar kota. Energi hasil pembakaran digunakan menjadi listrik, dan air dari sampah basah bakal disaring terlebih dahulu hingga benar-benar bersih sebelum dialirkan ke sungai.
3. Swedia
Di negara ini, sampah menjadi energi listrik yang menyalakan lampu rumah tangga. Peraturan mengenai daur ulang dan pengelompokan sampah juga sangat ketat. Bila penduduk melanggar, akan dikenai denda hingga US$ 350 atau sekitar Rp 4 juta.
Secara keseluruhan, sebanyak 9,5 juta penduduk Swedia menghasilkan 5.000 ton sampah per hari. Sampah basah dan yang tidak bisa didaur ulang dibakar dalam insinerator. Hanya empat persen sampah saja yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir. Hasilnya, 20 persen listrik rumah tangga di Swedia berasal dari sampah.
Bayangkan, Swedia memiliki 242 pembangkit listrik tenaga biogas yang menghasilkan 1.589 GWh (giga Watt per hours) setiap tahunnya. Karena ketergantungan terhadap energi listrik dari sampah, negara ini bahkan mengimpor sampah dari negara-negara Eropa lain.
INDRI MAULIDAR | THE ATLANTIC | IB TIMES | DNA INDIA