TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini sekitar 72 ribu orang. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menilai jumlah tersebut terlalu banyak.
Ia pun berencana menguranginya hingga 40 persen. "Supaya hemat uang, berhentikan saja pegawai yang malas," kata Ahok setelah menerima National Procurement Award 2015 dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Selasa, 10 November 2015, di Balai Sudirman, Jakarta Selatan.
Menurut Ahok, banyak pegawai Jakarta yang kinerjanya buruk. Ia pun tak bisa mengawasi mereka satu per satu. "Karena itu, saya masih bisa dikadalin," ujarnya.
Di Jakarta Pusat, ada pegawai yang tak masuk selama enam bulan dan tak bisa dilacak keberadaannya. Ia hanya menitipkan surat sakit tanpa bisa ditemui dan menjelaskan penyakitnya. Inspektorat juga sudah memecat dan memutasi ratusan pegawai di seluruh Jakarta karena tak disiplin dan ketahuan menyelewengkan jabatan.
Ada beberapa tingkat pelanggaran yang dipantau Inspektorat, termasuk berselingkuh. Para pejabat tersebut diberikan sanksi sesuai kesalahan, dari administrasi hingga pidana jika korupsi. Tindakan tegas ini seiring peningkatan gaji pegawai Jakarta melalui tunjangan kinerja. Saat ini pegawai terendah di Jakarta mendapat penghasilan minimal Rp 9,3 juta dan tertinggi Rp 89 juta.
Untuk mengawasi kinerja mereka, pemerintah Jakarta mengadopsi sebuah program komputer yang sudah digunakan Provinsi Sulawesi Tenggara. Program komputer itu bisa memantau kinerja pegawai hingga lapisan paling bawah. Dengan program ini, Ahok berharap semua kegiatan pegawai bisa dipantau dengan mudah.
Ahok berharap program tersebut bisa dipasang dalam sistem smart city milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pekan depan. Dia sudah meminta langsung kepada Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam untuk mendapatkan program itu. “Dalam minggu ini saya kirim," tutur Nur Alam, yang berada di samping Ahok.
ANGELINA ANJAR SAWITRI