TEMPO.CO, Jakarta - Suasana Unit Tempat Pengolahan Sampah Terpadu milik Dinas Kebersihan DKI Jakarta di Sunter, Jakarta Utara nampak lengang pada Rabu pekan lalu. Ratusan truk pengangkut sampah Jakarta yang biasanya hilir mudik, siang itu tak datang ke sana. "Aktivitas berhenti karena listrik mati," kata Heriyadi, seorang petugas keamanan.
Unit Sunter merupakan tempat transit truk pengangkut sampah dari tiga wilayah: Jakarta Utara, Pusat, dan Barat. Di sana, semua sampah Jakarta dipadatkan dahulu dengan mesin sebelum dipindahkan ke truk lain kemudian dibawa ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Di sana juga, Dinas Kebersihan berencana membangun tempat pengolahan sampah menggunakan metode dibakar atau Intermediete Treatment Facility (ITF). Selain di Sunter, Dinas juga akan membangun ITF di Marunda, Cakung-Cilincing, dan Duri Kosambi.
Setiap satu ITF bisa mengolah sekitar seribu ton per hari atau 4.000 ton sehari jika empat ITF. Dengan begitu volume sampah yang dibuang ke Bantargebang menjadi lebih sedikit sekitar 2.000 ton per hari--sekarang 7.000 ton sehari. Namun sayangnya rencana Dinas sejak 2011 lalu itu belum maujud sampai sekarang.
Kegagalan Dinas membangun ITF ini sempat dipertanyakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. "Saya tidak tahu motif kegagalannya apa," kata dia awal November lalu. Wakil Kepala Dinas Kebersihan Ali Maulana Hakim mengatakan alasan kegagalan pembangunan ITF soal eksekusi saja.
Karenanya, ia akan melelang pembangunan ITF Sunter tahun ini. Adapun tiga ITF lainnya akan dibangun PT Jakarta Propertindo dan mulai dilelang tahun depan. Ali mengatakan pembangunan satu ITF menelan dana sekitar Rp 1,2 triliun dan memakan waktu sekitar 3 tahun.
Kegagalan pemerintah membangun empat ITF juga dipersoalkan oleh pengelola Bantargebang: PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia. Karena pemerintah tak kunjung membangun ITF, volume sampah Jakarta yang dikirim ke Bantargebang meningkat.
Padahal, kata Direktur Godang Tua Jaya Douglas Manurung, dalam perjanjian kerja sama pemerintah harus membangun ITF untuk menekan jumlah sampah yang dikirim ke Bantargebang. "Di perjanjian seharusnya pemerintah kirim sampah 3.000 ton tapi faktanya sekarang 7.000 ton sehari."
Walhasil, pengelola pun merugi karena banyak mengeluarkan uang operasional. Menurut Douglas, kerugian bertambah soalnya pengelola sedikit memperoleh pendapatan dari pengolahan gas menjadi listrik, daur ulang plastik, dan kompos. "Sekarang siapa yang mau beli kompos kami."
Karenanya ia meminta kepada pemerintah untuk berunding menyelesaikan Bantargebang. Ia juga ingin mengubah perjanjian terutama soal besaran tipping fee. "Kami minta naikkan besar tipping fee," ujarnya. Karena pemerintah Surabaya saja membayar tipping fee sebesar Rp 130 ribu per ton kepada pengelola.
Menurut Ali justru pengelola untung jika sampah yang dikirim ke Bantargebang banyak. Karena pemerintah tetap membayar meskipun volumenya besar. Ali menyangkal jika pembangunan ITF masuk dalam kontrak. "Enggak ada. Itu cuma rencana kami saja," ucapnya.
Pernyataan Ali itu terkonfirmasi. Dalam dokumen kerja sama antara pemerintah Jakarta dengan pengelola yang salinannya diperoleh Tempo, memang tak ada satu pasal pun yang menyebutkan pemerintah wajib membangun ITF.
Namun menurut Ali, dalam perjanjian jumlah sampah yang dikirim ke Bantargebang menurun setiap tahunnya. Seperti tahun ini minimal sampah yang dikirim ke sana 3.000 ton per hari. "Ingat itu minimal. Kalau kami kirim lebih dari itu boleh enggak? boleh dong," katanya.
ERWAN HERMAWAN