TEMPO.CO, Jakarta - Tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Uninterruptable Power Supply (UPS) Fahmi Zulfikar mengatakan pembahasan dan pengadaan anggarannya sudah sesuai dengan standar. "Saya kira mekanisme itu kan memang sudah standar. Mungkin kalau ditanya, apa kalau semua itu berjalan dengan sendirinya, ya tidak mungkinlah," kata Fahmi Zulfikar seusai diperiksa penyidik di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Selasa, 24 November 2015.
Anggota DPRD DKI Jakarta ini beralasan pembahasan anggaran tidak menyebut secara rinci karena poin-poin yang dibahas sangat banyak. "Jumlahnya puluhan ribu item. Terkait hasilnya menjadi APBD, tentu saja ada kesepakatan antara TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dan Badan Anggaran," kata Fahmi.
Dalam lingkup yang lebih besar, Fahmi menyebutkan bahwa hal tersebut masuk dalam pembahasan antara ekesekutif dan legislatif. Perihal UPS yang dimasukkan ke dalam anggaran, Fahmi menolak bahwa itu wewenang anggota DPRD. "Kalau bicara soal kalau sudah jadi anggaran kenapa dilelang? Jangan tanya saya. Karena itu bukan domain DPRD," kata Fahmi.
Fahmi juga membantah anggapan UPS bukan hal yang cukup penting. Menurutnya, DPRD hanya mengikuti prosedur lelang yang diajukan eksekutif. "Kalau tidak urgent, kenapa dilelang? Semua kebijakan ada pada eksekutif, kami hanya legislatif," kata dia membela diri.
Fahmi Zulfikar dan M. Firmansyah yang juga anggota dewan telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan UPS pada Rabu 11 November 2015. Fahmi merupakan anggota dewan dari Fraksi Partai Hanura. Sementara, M. Firmansyah dari Fraksi Partai Demokrat.
Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim telah memeriksa sebanyak enam saksi untuk mengusut tersangka baru. Kasus korupsi UPS ini terbongkar sejak ditemukannya penggelembungan harga UPS sebesar Rp 5,8 miliar per unit dalam APBD 2014. Menurut informasi, harga satu UPS dengan kapasitas 40 kilovolt ampere hanya sekitar Rp 100 juta.
Fahmi Zulfikar dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. Pasal itu mengatur tentang perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, korporasi, atau orang lain yang merugikan keuangan negara, serta penyalahgunaan jabatan.
LARISSA HUDA