TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) menilai kepolisian telah melakukan sensor terhadap diskusi yang bersifat sensitif dan dianggap tabu. "Kami khawatir ada tekanan dan sensor terkait dengan isu yang dianggap tabu," kata juru bicara Sejuk, Andy Budiman, melalui rilisnya, Kamis, 25 November 2015.
Sejuk merespons pembatalan acara diskusi yang akan diselenggarakan organisasi tersebut. Diskusi mengenai terorisme, surat edaran ujaran kebencian polisi, dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia itu dibatalkan sponsor kegiatan, Friedrich Naumann Stiftung, pegiat demokrasi yang berbasis di Jerman.
Andi menyayangkan bila pembatalan tersebut atas permintaan Polda Metro Jaya. Padahal, selama ini, Sejuk mendukung pemerintah dan kepolisian dalam mengatasi masalah radikalisme. Termasuk dengan menyebarkan nilai-nilai toleransi kepada masyarakat.
"Karena itu, kami menyayangkan sikap kepolisian yang terkesan tidak menunjukkan komitmen dalam merawat kebebasan berbicara," ucap Andy. Padahal kebebasan berbicara adalah amanat penting nilai-nilai reformasi.
Dia menganggap pembatalan diskusi tersebut menunjukkan polisi tidak menjamin hak warga dan menjaga keamanan sebagaimana mestinya. Apalagi tema yang diangkat dalam diskusi tersebut terkait dengan keamanan, radikalisme, dan demokrasi di Indonesia.
Rencananya, diskusi tersebut digelar di Jakarta pada Sabtu mendatang. Sejumlah pembicara diundang untuk membahas tragedi teror di Paris, surat edaran ujaran kebencian, dan jaringan ISIS di Indonesia.
Mereka di antaranya Pemimpin Redaksi Tempo Arif Zulkifli, pakar terorisme Sidney Jones, dan cendekiawan Ulil Abshar Abdalla. Diskusi urung dilakukan karena pihak sponsor secara sepihak tiba-tiba membatalkan kegiatan tersebut.
AVIT HIDAYAT