TEMPO.CO, Depok - Anggota Badan Anggaran DPRD Kota Depok Edy Masturo menyoroti anggaran jumbo untuk para pegawai honorer di Depok yang nilainya mencapai Rp 215 miliar. Menurut Edy, alokasi dan distribusi anggaran kurang fokus terhadap masalah yang harus diselesaikan.
"Tidak ada penjelasan yang reasonable terhadap alokasi dan distribusi kepada kebutuhan ril yang bisa dipertanggungjawabkan. Terutama anggaran untuk pegawai honorer di Depok," kata Edy, Senin, 30 Desember 2015. Adapun DPRD Kota Depok telah mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2016, Jumat, 27 November 2015.
APBD Kota Depok 2016 diketuk palu sebesar Rp 2,6 triliun. Dengan perincian belanja tidak langsung yang mencapai Rp 1,047 triliun, yakni untuk pegawai Rp 921 miliar, hibah Rp 53 miliar, bantuan sosial Rp 41 miliar, bantuan politik Rp 870 juta, dan belanja tak terduga Rp 30 miliar. Sedangkan belanja langsung Rp 1,5 triliun, terdiri atas belanja pegawai Rp 215 miliar, belanja barang dan jasa Rp 531 miliar, dan belanja modal Rp 826 miliar.
Selain itu, ia melihat postur anggaran APBD Depok masih terlihat makro. Ia menjelaskan, dalam paparan nota keuangan rancangan APBD 2016, indikator kinerja masih bersifat makro. Ini berarti lebih memperlihatkan klaim-klaim keberhasilan, tapi tidak menjelaskan dan menunjukkan secara spesifik dan detail kinerja setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Menurut Edy, data kinerja setiap OPD sangat penting dan dibutuhkan untuk melihat sejauh mana kinerja program dan anggaran tersebut linier dengan klaim keberhasilan indikator kinerja makro sosial-ekonomi, serta sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2011-2016.
Dalam kaitannya dengan belanja daerah, salah satu persoalan yang tidak pernah dijelaskan pihak pemerintah kota dalam setiap penyusunan rancangan APBD adalah alasan alokasi dan distribusi anggaran setiap bidang atau OPD. "Mengapa sektor ini mendapat sekian, sektor yang lain mendapat sekian. Termasuk penjelasan anggaran pegawai honorer," ucapnya.
Selain itu, ia melihat komposisi antara belanja tidak langsung dan belanja langsung terlihat masih belum ideal. Sebab, besaran jumlah belanja tidak langsung, khususnya belanja pegawai pada Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air, serta Dinas Pendidikan, terlihat cukup signifikan.
Dewan mendesak agar pemerintah senantiasa melakukan efisiensi. Menurutnya, pemerintah harus terus menekan pengeluaran pos-pos yang tidak terkait langsung dengan kepentingan masyarakat, seperti pos belanja pegawai, yaitu honorarium, serta pos belanja barang dan jasa. "Dana honorer Depok terlihat terlalu besar dan belum bisa dijelaskan," ucapnya.
Kepala Bagian Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Depok Nuraeni Widayati mengatakan, anggaran non-PNS dan PNS mencapai Rp 215 miliar. Dari total anggaran tersebut, memang tersedot ke anggaran gaji honorer sebanyak Rp180 miliar, sisanya Rp 35 miliar untuk PNS. Jumlah honorer di Depok mencapai 4.050 orang. "Yang PNS untuk honor tim. Contohnya honor petugas lapangan dan petugas pembuat komitmen," katanya.
Nuraeni mengatakan, anggaran untuk honorer memang terlalu besar. Untuk itu, ke depan harus lebih dikaji. Bahkan, setiap penambahan honorer yang diusulkan setiap dinas harus dikaji lebih baik.
Selain itu, kebutuhan honorer di Depok perlu dievaluasi terhadap beban kerja dan kebutuhan. Bahkan, ketika dinas mengajukan honorer, seharusnya melalui Badan Kepegawaian Daerah. Namun saat ini belum melalui lembaga, tapi per kebutuhan setiap dinas. "Harus efektif dan dianalisis honorer di Depok," katanya.
Nuraeni mencontohkan, pesapon atau tukang sapu jalan di Depok, digaji Rp 80 ribu per hari. Seharusnya, mereka dikaji kebutuhannya. Misalnya, berapa kebutuhan pesapon dengan perbandingan panjang jalan yang dibersihkan. "Bahkan, honorer di Depok sekarang dapat gaji ke-13. Padahal tidak boleh. Tapi kalau THR memang dikasih," ujarnya.
IMAM HAMDI