Cerita Sopir Bus AKAP Dongkol dengan Larangan Mudik Pemerintah
Reporter
Imam Hamdi
Editor
Clara Maria Tjandra Dewi H.
Rabu, 21 April 2021 09:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tasrudin, 52 tahun, sopir Perusahaan Otobus (PO) Sinar Jaya, dongkol mendengar larangan mudik lebaran yang ditetapkan pemerintah pada 6-17 Mei mendatang.
"Pemerintah tidak konsisten. Awalnya membolehkan sekarang melarang," kata sopir bus AKAP itu di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, Selasa, 20 April 2021.
Kebijakan mudik lebaran yang dikeluhkan Tasrudin memang berubah 180 derajat. Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengubah lampu hijau mudik dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Pada saat rapat kerja dengan Komisi V DPR di Jakarta, 16 Maret 2021, Budi Karya membolehkan mudik lebaran tahun ini. Berselang 10 hari dari pernyataan Menhub itu, Muhadjir dalam jumpa pers menyatakan pemerintah resmi melarang mudik lebaran tahun ini pada periode 6-17 Mei 2021.
Menurut Tasrudin, larangan mudik itu membuat mereka bertambah susah. Sebab selama angkutan mudik dihentikan, otomatis para sopir tidak bisa mencari nafkah.
"Kami kan dibayar berdasarkan ritase (perjalanan). Kalau dihentikan selama dua pekan dari mana kami cari makan," ujarnya. "Harusnya pemerintah memberikan insentif selama menghentikan operasional kami."
Pria yang sudah 15 tahun menjadi sopir bus AKAP itu berharap pemerintah masih bisa mengubah kebijakan dengan membolehkan mudik dengan syarat yang ketat. "Tahun kemarin kan pakai SIKM (surat izin keluar masuk). Sekarang diterapkan saja lagi, dan jangan dilarang total seperti sekarang."
Jika pemerintah tidak bisa mengubah kebijakan, ia berharap pemerintah memberikan insentif seperti tahun lalu. Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB dan larangan mudik lebaran tahun lalu, dia sempat dirumahkan selama enam bulan.
<!--more-->
Selama dirumahkan, Tasrudin menerima insentif sebesar Rp 600 ribu yang diberikan setiap tiga bulan. "Tapi insentif itu tidak cukup bagi saya yang sudah berkeluarga. Tahun kemarin saya sampai utang Rp 7 juta ke saudara untuk kebutuhan hidup sehari-hari."
Tasrudin meminta pemerintah mempertimbangkan nasib pekerja sepertinya yang bergantung kepada jasa transportasi. Menurut dia, jika jasa transportasi mudik tahun ini dihentikan maka bakal ada ribuan sopir yang tidak bisa mencari nafkah.
"Karena kami dibayarnya harian. Kami juga tidak dapat THR (tunjangan hari raya) seperti pegawai kantoran," ujarnya. "kalau dilarang sekarang saya mau tanya ada solusi yang dipikirkan tidak dari pemerintah kepada kami?"
Sopir PO Haryanto, Jaini, 48 tahun, juga berpendapat senada. Larangan mudik ini membuat mereka bertambah sulit. "Karena pas lagi ramai penumpang kami justru dilarang bekerja."
Dia berharap pemerintah tidak melarang bus AKAP beroperasi karena protokol kesehatan telah diterapkan selama di perjalanan. Seluruh sopir maupun kernet hingga penumpang pun menggunakan masker. "Kami juga sediakan hand sanitizer. Intinya penumpang juga sudah sadar dan tahu kalau sekarang masih pandemi."
Menurut dia, larangan mudik tahun ini juga masih setengah-setengah karena mudik antarwilayah seperti di Jabodetabek masih diperbolehkan. Begitu juga mudik antarkota atau algomerasi. "Apa bedanya mudik jauh sama mudik antarkota di Jabodetabek. Kalau mau larang, larang sekalian semuanya," ujarnya.
Larangan mudik yang masih setengah-setengah akan membuat warga mencari celah untuk tetap pulang kampung. "Pemudik itu selama masih ada celah pasti tetap mencari celah itu."
Baca juga: Penumpang Bus Diperkirakan Meningkat Sepekan Sebelum Larangan Mudik