10 Poin Rapor Merah Anies Baswedan, dari Kondisi Udara hingga Reklamasi
Reporter
Adam Prireza
Editor
Endri Kurniawati
Jumat, 22 Oktober 2021 12:03 WIB
JAKARTA- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Senin, 18 Oktober 2021 lalu menyerahkan kertas posisi bertajuk 'Rapor Merah 4 Tahun Kepemimpinan Anies Baswedan di Ibu Kota' kepada Pemerintah DKI Jakarta. Di dalamnya tercantum 10 poin masalah yang mereka susun berdasarkan kondisi faktual warga DKI dan refleksi advokasi LBH Jakarta.
Berikut adalah 10 poin yang dimaksud:
- Kondisi udara Jakarta yang buruk
LBH Jakarta menilai kualitas udara di Ibu Kota sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN), sebagaimana ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 dan Baku Mutu Udara Daerah Provinsi DKI Jakarta dalam Keputusan Gubernur Nomor 551 TAhun 2001 tentang Penerapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan. LBH menyebut buruknya kualitas udara itu disebabkan oleh Pemerintah DKI yang abai dalam melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan.
- Sulit akses air bersih
Menurut LBH, susahnya akses terhadap air bersih bagi warga di pinggiran kota, kawasan padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak mampu merupakan dampak dari swastanisasi air. Mereka juga menilai kualitas air di Jakarta kian memburuk dan pasokan air yang terhambat akibat kecilnya daya jangkau air. Alhasil, warga pun tak mendapat air yang layak dikonsumsi maupun digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
- Penanganan banjir belum menyentuh akar masalah
LBH Jakarta menyebut ada beberapa tipe banjir di Ibu Kota, yaitu banjir hujan lokal, banjir kiriman hulu, banjir rob, banjir akibat gagal infrastruktur, serta banjir kombinasi. Pemerintah DKI menurut mereka masih menyikapi banjir yang terjadi akibat luapan sungai. Dampaknya, penanganan banjir hanya fokus pada menghilangkan hambatan di aliran sungai dari hulu ke hilir.
Upaya yang dilakukan, menurut LBH Jakarta, cenderung pada pengerasan atau betonisasi bantaran sungai. Mereka juga menemukan ada beberapa peraturan yang mendukung penggusuran dalam upaya betonisasi pinggiran aliran sungai itu .
- Penataan kampung kota belum partisipatif
LBH Jakarta menyebut Community Action Plan (CAP) untuk penataan kampung kota dengan pendekatan partisipasi warga pada nyatanya belum efektif. Padahal, itu salah satu dari 23 janji kampanye Anies Baswedan pada 2017. LBH Jakarta mengambil contoh pendekatan CAP di Kampung Akuarium, Jakarta Utara. Mereka menilai dalam penerapannya upaya itu tak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga setempat.
- Akses bantuan hukum masih terbatas
LBH Jakarta menilai Pemerintah DKI Jakarta tidak serius dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum. Contohnya, kata mereka, terdapat kekosongan aturan mengenai bantuan hukum pada level peraturan daerah di DKI Jakarta. Hal itu berdampak pada lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemerintah DKI untuk bantuan hukum melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dampak lainnya adalah akses masyarakat buta hukum, miskin, dan tertindas terhadap bantuan hukum.
- Sulit memiliki tempat tinggal di Jakarta
Menurut LBH Jakarta, Gubernur Anies Baswedan pada awal masa kepemimpinannya mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan rumah DP Rp 0. Pemerintah DKI mentargetkan pembangunan 232.214 unit hunian jenis itu. Namun, targetnya dipangkas hingga 10 ribu unit saja.
Selain itu, pengadaan rumah yang semula untuk warga dengan penghasilan Rp 4-7 juta diubah menjadi Rp 14 juta. Perubahan itu mereka nilai sebagai bentuk ketidakseriusan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye.
- Permasalahan warga di pesisir
LBH Jakarta menilai Pemimpin DKI belum menunjukkan bentuk intervensi yang signifikan terhadap permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau kecil di Jakarta. Padahal, wilayah pesisir dan pulau kecil memiliki kompleksitas dan karakteristik kerentanan yang jauh berbeda dengan daratan Mereka harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian alam dan konflik agraria.
Draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang disusun Pemerintah DKI, kata LBH Jakarta, justru memuat ketentuan yang berpotensi mengakselerasi kerusakan ekosistem dan perampasan ruang hidup dan penghidupan masyarakat.
- Penanganan pandemi masih setengah hati
DKI Jakarta memerlukan penanganan Covid-19 yang tepat guna dan sasaran. Mereka menilai capaian Testing, Tracing, dan Treatment (3T) Pemerintah DKI justru masih rendah di masa krisis. LBH Jakarta menyebut vaksinasi untuk kelompok prioritas juga tergolong lambat dan ditemukan banyak penyelewengan vaksin ketiga atau booster untuk warga yang tidak berhak.
Pelonggaran yang diterapkan di Jakarta terlalu dini. Misalnya pembukaan mal pada Agustus 2021, belakangan memperbolehkan anak di bawah 12 tahun masuk, dan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) yang dilakukan terburu-buru. LBH Jakarta juga menilai banyak aduan dari masyarakat pada sektor fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan, dan pendidikan yang tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah DKI.
- Penggusuran paksa masih terjadi
LBH Jakarta menilai penggusuran di Ibu Kota dijustifikasi dengan peraturan perundang-undangan yang tak memiliki perspektif HAM. Pergub DKI Nomor 207 Tahun 2016 tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak menurut mereka merupakan salah satu ketentuan yang dipakai oleh Pemerintah DKI untuk menggusur.
Dalihnya adalah memberikan kepastian hukum pelaksanaan penertiban terhadap pemakaian atau penguasaan tanah tanpa izin yang berhak. Pemerintah DKI justru mempertahankan peraturan yang dibuat pada era Gubernur Basuki Tjahja Purnama alias Ahok itu. Beberapa kasus penggusuran dalam era kepemimpinan Anies di antaranya adalah Menteng Dalam, Pancoran Buntu II, Kebun Sayur, Kapuk Poglar, Rawa Pule, Guji Baru, dan Gang Lengkong Cilincing.
- Masih berlanjutnya reklamasi
LBH Jakarta menilai Pemerintah DKI tak konsisten menghentikan reklamasi. Pada 2018 lalu, Gubernur Anies Baswedan menerbitkan Pergub DKI Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Dalam aturan itu, pengembang reklamasi disebut sebagai perusahaan mitra. Hal itu, kata mereka, mengindikasikan reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Permasalahan lain yang dicatat oleh LBH Jakarta adalah pencabutan izin 13 pulau reklamasi yang dilakukan secara tidak cermat dan segera.
Baca: Berita Terpopuler: Hitungan Capres Anies Baswedan Hingga Mutasi Aipda Ambarita