Dinas Lingkungan Hidup DKI: Antusiasme Uji Emisi Turun Gara-gara Sanksi Tilang Ditunda
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Iqbal Muhtarom
Jumat, 24 Juni 2022 23:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Yogi Ikhwan mengatakan bahwa atusiasme pemilik kendaraan menurun untuk melakukan uji emisi. Hal itu terjadi karena sanksi tilang bagi kendaraan yang belum dan tidak melakukan uji emisi ditunda.
“Menurun dari yang kita harapkan, ada datanya bisa diliat jumlah kendaraan yang melakukan uji emisi setelah pemberlakuan sanksi tilang ditunda,” ujar dia saat dihubungi pada Jumat, 24 Juni 2022.
Menurut Yogi, rencana penerapan tilang untuk kendaraan bermotor yang tidak melaksanakan uji emisi keputusannya ditunda pada 13 November 2021 hingga jumlah tempat uji emisi memadai. Data yang diberikan Yogi mengungkap jumlah kendaraan yang melakukan uji emisi pada November 2021 jumlahnya sangat tinggi, 190.026.
Kemudian pada Desember 2021 menurun drastis menjadi 66.123, Januari dan Februari juga menurun masing-masing jumlahnya 42.903 dan 26.165. Kemudian pda Februari sedikit naik dibanding bulan sebelumnya, 35.970. Serta pada April, Mei, dan Juni terus menurun masing-masing 31.260, 16.716, dan 10.697.
“Kendaraan yang sudah melakukan uji emisi berjumlah 647.572 mobil dan 57.990 sepeda motor,” tutur Yogi.
Dari total populasi mobil 4,1 juta dan Motor 14 juta, Yogi menambahkan, maka dapat disimpulkan kendaraan mobil yang sudah menguji sebesar 15,79 persen dan sepeda motor sebesar 0,4 persen.
Transportasi jadi sumber polusi terbesar di Jakarta
Ricky Amukti, manajer di lembaga analisis kebijakan yang berfokus pada isu transisi menuju energi bersih terbarukan, Traction Energy Asia, membeberkan tiga sumber utama polusi yang membuat kualitas udara Jakarta menurun, yakni transportasi, pembangkit listrik, dan sampah. Menurutnya, sumber polusi udara yang terbesar berasal dari transportasi, angkanya 50 persen.
“Kemudian dari pembangkit listrik tenaga uap di Jawa Barat dan Banten 30 persen, dan sisanya berasal dari sampah,” ujar dia pada 7 Oktober tahun lalu.
Menurut Ricky, berdasarkan data, ada sekitar 16 juta unit sepeda motor, dan 3,6 juta unit mobil yang melintasi wilayah Jakarta, termasuk dari Banten dan Jawa Barat, ditambah lagi dengan transportasi umum. Kendaraan itu mengeluarkan emisi gas, dan membutuhkan banyak bahan bakar minyak, serta memunculkan polusi udara.
Ricky memberikan grand design yang bisa dilakukan pemerintah setempat. Dia mengusulkan bahan bakarnya bisa dipilih dengan lebih ramah lingkungan seperti bertenaga listrik. “Kendaraan listrik ini lebih ke rencana jangka panjang, atau menggunakan bahan bakar yang lebih variatif, tidak hanya mengambil dari fosil, minyak kelapa sawit, bisa diganti dengan tebu misalnya,” tutur Ricky.
Selain itu, kata dia, bisa memanfaatkan minyak jelantah yang bisa menjadi peluang untuk stok biodiesel. Jakarta memiliki kemungkinan 12 juta liter per tahun untuk minyak jelantah yang berasal dari limbah rumah tangga dan usaha mikro kecil (UMKM), belum dihitung yang berasal dari industri dan restoran. “Menurut kajian Royal Academy Engineering, emisi minyak jelantah lebih rendah sekitar 80-90 persen daripada yang digunakan sekarang,” katanya.
Sedangkan untuk listrik, Jakarta bisa menggunakan pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS Atap). Menurut Ricky, PLTS Atap sangat mungkin digunakan karena modular dan akan lebih aplikatif jika dimanfaatkan di Jakarta, karena bisa diterapkan di gedung-gedung tinggi.
“Satu megawatt panel surya itu bisa mengurangi efek emisi rumah kaca sebanyak 1.226 CO per tahun,” ujar Ricky. “Sebenarnya di Jakarta cukup hanya 20 persen saja PLTS Atap bisa mengurangi polusi udara.
Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Memburuk, DKI Genjot Lagi Uji Emisi Kendaraan