Tarif KRL Orang Kaya dan Miskin, MTI Bandingkan dengan Tarif Transportasi di Singapura dan Australia
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Clara Maria Tjandra Dewi H.
Rabu, 4 Januari 2023 11:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno angkat bicara soal wacana perbedaan tarif KRL orang kaya dan miskin. Djoko membandingkan bagaimana negara maju menerapkan perbedaan tarif transportasi publiknya.
Penerapan perbedaan tarif transportasi di Singapura dilakukan dengan memberi subsidi bagi lansia, yaitu diskon 25 persen. Untuk disabilitas dan pelajar diberikan diskon 50 persen. Pemberian subsidi tarif juga diberikan di negara bagian Victoria di Australia, yaitu bagi lansia, disabilitas dan pelajar sebesar 30 persen pada jam tidak sibuk antara pukul 09.30-16.00.
Belgia juga menerapkan diskon 19 persen pada jam tidak sibuk dan sibuk untuk moda trem. Sementara di Amerika Serikat ada diskon 20 persen hingga 50 persen yang berlaku berbeda di tiap negara bagian untuk warga berpenghasilan di bawah upah standar.
Adapun Metrolink di Kota Manchester Inggris menerapkan tarif diskon 50 persen untuk penumpang berpendapatan per bulan kurang dari upah standar minimum, dan tarif diskon 35 persen untuk lansia dan disabilitas. Swedia juga memberikan keringanan tarif bagi warga berstatus kesejahteraan tertentu (tidak bekerja karena cacat) dan manula. Wilayah Regional Marche di Italia memberikan tarif diskon bagi pengangguran sebesar 50 persen.
Menurut Djoko, pemerintah perlu memperhitungkan ongkos total perjalanan dari rumah hingga ke tempat tujuan tidak lebih dari 10 persen penghasilan bulanan.
Mengutip Policy Research Working Paper 4440 World Bank, belanja transportasi yang tepat bagi masyarakat adalah maksimal 10 persen dari upah bulanannya. Kajian World Bank itu berdasarkan riset dari negara-negara di Amerika Latin dan negara di Kepulauan Karibia pada 2007.
“Kita jangan fokus hanya pada tarif KRL Jabodetabek, namun bagaimana kita merancang ongkos transportasi warga bisa kurang dari 10 persen dari pendapatan bulanan. Prancis dan Singapura sudah bisa menekan hingga 3 persen, sedangkan Cina 7 persen,” kata Djoko dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 3 Januari 2023.
Selanjutnya layanan transportasi first mile belum berubah....
<!--more-->
Layanan Transportasi First Mile Belum Berubah
Djoko mengatakan, saat ini layanan transportasi dari tempat tinggal ke stasiun (first mile) di Jabodetabek belum banyak perubahan. Bahkan, cenderung angkutan ke stasiun makin berkurang jumlahnya.
Berdasarkan Survei Badan Litbang Perhubungan pada 2013, ketika ditetapkan tarif KRL Jabodetabek satu harga dan murah, total ongkos transportasi yang dikeluarkan pengguna KRL Jabodetabek masih 32 persen dari pendapatan bulanan. Pada saat itu layanan transportasi dari stasiun ke tempat tujuan (last mile) belum sebaik sekarang. Kini setiap stasiun KRKL yang berada di Jakarta sudah terintegrasi dengan Bus Trans Jakarta dan Jak Lingko.
“Namun belum ada perbaikan yang berarti untuk first mile, baru ada Bus Trans Pakuan di Bogor dan Bus Tayo di Tangerang. Ciptakanlah transportasi umum seperti di Bogor dan Tangerang untuk di Kota Bekasi, Kab. Bekasi, Kota Depok, Kab. Tangerang, Kab. Bogor dan Kota Tangerang Selatan,” kata Djoko.
Menurutnya, masyarakat bisa menikmati ongkos murah naik KRL Jabodetabek, akan tetapi bisa masyarakat harus membayar biaya perjalanan layanan transportasi lebih mahal dari rumah ke stasiun (first mile) dan layanan transportasi dari stasiun ke tempat tujuan (last mile).
Kajian 2018 yang dilakukan Direktorat Jenderal Perkeretaapian mencatat pengguna KRL Jabodetabek di akhir pekan yang bekerja pada Sabtu 5 persen dan Minggu 3 persen. Sisanya bepergian tujuan perjalanan sosial seperti berwisata, kunjungan keluarga, seminar, dan ke pusat perbelanjaan. Pada tahun yang sama juga telah ada usulan mekanisme usulan subsidi tepat sasaran bagi pengguna KRL Jabodetabek.
“Namun, belum ditanggapi dengan serius oleh pemerintah saat itu. Tidak ada salahnya jika sekarang perlu dipertajam lagi kajiannya, sehingga pada saat yang tepat dapat diterapkan setelah dilakukan beberapa sosialisasi ke masyarakat,” kata Djoko.
Sejatinya subsidi transportasi umum diberikan kepada warga yang dalam mobilitas kesehariannya menggunakan transportasi umum untuk bekerja. Ini dapat dibedakan atau tidak tergantung kemauan politik pemerintahnya dan ketersediaan anggaran yang ada.
Pengamat transportasi dari MTI itu mengatakan, layanan transportasi umum Bus Trans Jateng dan Bus Trans Semarang sudah memberlakukan pembedaan tarif untuk kelompok umum, pelajar, mahasiswa, buruh, dan lansia.
“Hingga sekarang cukup lancar dan tidak bermasalah. Malahan, buruh merasa terbantu dengan tarif khusus itu. Dapat mengurangi pengeluaran ongkos transportasi untuk bekerja,” kata Djoko.
Dia juga menyoroti kontrak PSO (public service obligation) untuk KRL Jabodetabek 2022 sebesar Rp 1,8 triliun pada 2022 dan menurun pada 2023, yakni Rp 1,6 triliun. Demikian pula total PSO 2022 sebesar Rp 2,8 triliun, turun di 2023 menjadi Rp 2,5 triliun. Sebanyak 64 persen dari nilai total PSO Perkeretaapian diberikan untuk PSO KRL Jabodetabek.
“Bandingkan dengan subsidi untuk daerah 3 T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) dan Perbatasan dengan bus perintis se Indonesia cuma mendapat Rp 177 miliar (327 trayek). Sekitar sepersepuluh dari PSO KRL Jabodetabek. Subsidi angkutan perintis penyeberangan di 273 lintas Rp 584 miliar. Angkutan perkotaan di 10 kota hanya Rp 500 miliar,” kata Djoko.
Alokasi Dana Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligatian/PSO) 2023 diprioritaskan untuk KRL dan KA Ekonomi Jarak Dekat karena jenis KA itulah yang digunakan sebagian besar warga beraktivitas sehari-hari. Dia berharap semakin banyak warga yang menggunakan kereta yang pada akhirnya mengurangi beban jalan raya.
Baca juga: KAI Sebut Tarif KRL Tak Mengalami Kenaikan Sejak 5 Tahun Terakhir