Sidang Korupsi Timah, Saksi Mengaku Diminta Bikin Kajian dengan Tanggal Mundur
Reporter
Amelia Rahima Sari
Editor
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Kamis, 26 September 2024 10:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Staf Direktorat Sumber Daya Manusia PT Timah Tbk, Eko Zuniarto Saputro, mengungkapkan diminta membuat dokumen kajian dengan tanggal mundur atau backdate terkait kerja sama perusahaannya dengan lima smelter swasta.
Hal ini diungkapkan Eko saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan terdakwa Helena Lim (Manager Marketing PT Quantum Skyline Exchange), Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (eks Direktur Utama PT Timah), Emil Ermindra (bekas Direktur Keuangan PT Timah), dan MB. Gunawan (Direktur PT Stanindo Inti Perkasa).
Mulanya, jaksa penuntut umum (JPU) menyoroti harga sewa smelter yang sudah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam dakwaan jaksa, nilai kontrak sewa peralatan penglogaman yang disepakati adalah US$ 4.000 per ton untuk PT Refined Bangka Tin, serta US$ 3.700 per ton untuk PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan CV Venus Inti Perkasa.
Jaksa juga bertanya apakah Eko pernah mendapat perintah dari Direktur Operasi dan Produksi PT Timah saat itu, Alwin Albar--yang juga menjadi terdakwa--untuk melakukan kajian atau evaluasi terhadap perjanjian sewa smelter.
"Atau sebelumnya, apakah saudara tahu untuk sewa smelter ini sebelumnya pernah ada dilakukan kajian oleh Divisi P2P (Perencanaan dan Pengendalian Produksi)?" cecar JPU di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 25 September 2024.
Eko pun menjawab, "Setahu saya, ada narasi yang dibuat terkait dengan kerja sama ini".
"Kajiannya ada enggak?" tanya Jaksa.
Eko menyahuti, "kalau kajian enggak ada".
"Berarti sepengetahuan saudara belum ada kajian?" tanya JPU lagi.
Eko menjawab belum ada kajian meski kerja sama PT Timah dengan lima perusahaan smelter swasta sudah dilakukan.
Kemudian ia menyebut pernah ada perintah dari Direktur Operasi dan Produksi PT Timah saat itu, Alwin Albar, untuk membuat kajian.
"Berarti setelah proses kerja sama berjalan, baru ada perintah dari Pak Alwin untuk melakukan kajian?" tanya jaksa.
Eko membenarkan, "iya".
Ia menuturkan pada saat itu ada temuan dari audit internal terkait dengan kerja sama, yaitu belum ada feasibility study atau studi kelayakan. Pada waktu itu, pihaknya hanya mendapatkan surat perintah dan narasi terkait dengan kerja sama ini. "Karena di narasi kerja sama itu, udah ada hitung-hitungannya juga Pak, tarifnya berapa".
"Di tanggal berapa akhirnya saudara membuat kajian sebagaimana perintah Pak Alwin?" tanya Jaksa.
Seingat Eko, perintah itu diberikan Alwin Albar pada penghujung 2019. Kemudian kajian itu selesai pada Agustus 2020
"Dokumennya per tanggal berapa dibuat?" cecar JPU.
Eko menjawab, "dimintanya Mei 2018."
"Berarti dokumen kajian itu yang dibuat di 2020, dibuat tgl mundur atau backdate seperti itu ya?" tanya Jaksa lagi.
Eko tak menjawab iya atau tidak. Ia hanya menyebut "berdasarkan data-data di 2018."
"Perintah siapa membuat dokumen dengan tanggal mundur?" tanya JPU.
"Dari Pak Alwin, Pak," ujar Eko.
Kasus dugaan korupsi tata niaga timah di PT Timah Tbk periode 2015-2022 diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau Rp 300 triliun. Angka tersebut berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 28 Mei 2024. BPKP menghitung kerugian ekologi dan ekonomi lingkungan, serta pemulihan lingkungan yang mungkin timbul dari kasus ini.
Pilihan Editor: Sidang Korupsi Timah: Smelter Swasta Kirim Miliaran Rupiah ke Money Changer Helena Lim tapi Tak Dicatat