TEMPO Interaktif, Jakarta - Terminal Tiga Bandara Soekarno-Hatta banyak menyimpan cerita kepedihan anak-anak negeri yang diperas saat kembali ke tanah air setelah membanting tulang di negeri orang. Pemerintah pun berencana membubarkan terminal khusus itu dengan menguji coba pemulangan tenaga kerja Indonesia asal Hongkong dan Taiwan melalui jalur umum.
Untuk menuju Terminal Tiga, Eli mengaku harus naik bus. Di bus itulah awal pemerasan terjadi. Petugas bus meminta sejumlah uang kepada TKI. Mereka bilang seikhlasnya namun pada prakteknya, "Kalau dikasih sepuluh ribu atau sepuluh ringgit, uangnya malah dilempar. Maunya malah lebih, minimal 20 ringgit," kata Eli.
Turun dari bus pemerasan kembali terjadi. Di pintu pertama Eli dan rekan-rekannya dimintai uang Rp 12 ribu. Lewat dari pintu pertama, selang beberapa meter kembali ada petugas yang meminta sejumlah uang. Kali ini Eli harus merogoh koceknya sampai Rp 25 ribu. "Sebenarnya itu bukan pintu, tapi sekat-sekat yang dibuat sendiri sama petugas," katanya.
Pemerasan tidak hanya secara langsung. Secara tidak langsung pemerasan dialami Eli dalam bentuk kenaikan harga tiket pesawat. Ia mengaku kaget ketika mengetahui harga tiket ke Surabaya sudah dinaikkan petugas. "Garuda kalau di terminal lain cuma Rp 1,5 juta di sana malah dijual Rp 1,7 juta. Duit saya enggak cukup. Belum lagi perjalanan dari bandara ke rumah jauh dan makan biaya juga," cerita Eli.
Solusinya Eli pulang menggunakan travel yang sudah disediakan pihak Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Dan pemerasan kembali terjadi. "Harga travel harusnya cuma Rp 250 ribu ini malah dijual Rp 450 ribu," kata Eli.
Travel itu harus ditumpangi 10 orang baru berjalan. Sepanjang perjalanan pulang Eli dan rekan-rekannya diperas oleh sang sopir dan rekannya. Dengan dalih uang lelah dan uang makan, sang sopir meminta sejumlah uang. Untuk makan saja sang sopir mampir ke restoran yang mahal. Si sopir meminta satu orang Rp 300 ribu. "Mana mau ngasih segitu? Kita akhirnya iuran untuk makan sama uang capek mereka. Seorang Rp 100 ribu," katanya.
Untuk sampai di rumah Eli mengaku membutuhkan waktu sampai 24 jam lebih. Itu karena harus mengantar 10 rekan-rekan lainnya. Sementara Eli tinggal di Bojonegoro. Sesampainya di rumah ternyata Eli masih diperas. Sopir dan rekannya meminta uang Rp 400 ribu. "Saya kasih saja Rp 50 ribu seorang. Udah gitu saya marahin. Saya bilang mereka sudah digaji," katanya.
Cerita pemerasan lain di Terminal Tiga adalah tentang penukaran uang. Eli mengatakan setiap TKI yang baru datang diwajibkan menukar uangnya di money changer di bandara. Nilai tukarnya sudah dipangkas. "Kalau di tempat lain biasanya kursnya normal. Kalau di Terminal Tiga US$ 1 bisa dihargai Rp 8.500," katanya.
Badriah, TKI asal Purwodadi, punya cerita sama seperti Eli. Ia mengaku juga diperas petugas di pintu tiga. Kisaran uang yang diperas juga sama seperti Eli. "Sepertinya pihak petugas dan Polres di sana sudah kerja sama untuk memeras TKI," kata TKI yang pernah bekerja di Malaysia itu.
Dengan adanya rencana penutupan Terminal Tiga, Badriah mengaku mendukung rencana itu. "Kalau gak ditutup lebih baik diberi pilihan mau lewat mana TKI tersebut. Tidak semua TKI mau lewat situ. Pokoknya semuanya pada kapok," katanya.
Badriah menyarankan TKI lebih baik lewat Pelabuhan Tanjung Priok untuk pulang. Di sana tidak ada pemerasan sama sekali. "Kita diperlakukan seperti penumpang biasa. Pulang boleh milih mau naik apa. Naik ojek juga boleh," katanya.
DANANG WIBOWO