TEMPO.CO, Purworejo - Nama Slamet Suradio mungkin asing bagi sebagian besar orang. Padahal, ketika terjadi tabrakan kereta di Bintaro pada 1987, Slamet sering diberitakan. Ya, dia adalah masinis KA 225 jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota. Kereta yang dia kendalikan bertabrakan dengan kereta cepat 220 jurusan Tanah Abang-Merak (lihat: Ini Cerita Miris Tabrakan Kereta Bintaro 1987).
"Peristiwa itu tidak akan pernah bisa saya lupakan," kata Slamet saat ditemui Selasa, 10 Desember 2013.
Slamet dianggap bersalah karena memberangkatkan kereta tanpa izin Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA). Ia pun dihukum dan haknya berupa uang pensiun dicabut. Selepas menjalani hukuman, Slamet memilih kembali ke kampung halamannya, Purwerejo, Jawa Tengah, dan menjadi pedagang rokok.
Menurut Slamet, perjalanan hidupnya sebagai masinis dimulai pada usia 25 tahun. Dia mendaftar dan diterima bekerja di perkeretaapian Jakarta. Tugas pertamanya adalah merawat kereta. Dari mengecek kondisi lokomotif hingga memperbaiki mesin. "Ngisi minyak juga," katanya.
Pada 1966, ia mengikuti ujian menjadi asisten masinis dan lulus. Lima tahun kemudian, ia diangkat menjadi masinis dengan pangkat pengatur muda. Dengan jabatan itu, Slamet ditugaskan untuk mengemudikan kereta di sejumlah rute. Selain dari Jakarta ke Rangkasbitung, ia juga mengemudikan kereta ke Cirebon. "Pernah juga ke Surabaya," ujar.
Kariernya berakhir pada 19 Oktober 1987 saat kereta yang dia kendalikan mengalami kecelakaan di Bintaro.
Slamet menyatakan keprihatinannya atas musibah yang terjadi Senin lalu, juga di Bintaro. "Kok, di situ lagi, ya," katanya. Meski heran, dia menolak jika lintasan kereta Bintaro itu disebut angker. "Kalau orang lain bilang begitu, ya, silakan saja."
ANANG ZAKARIA
Berita Sebelumnya:
Modifikasi Kereta Bintaro Tak Sesuai Aturan?
Jenazah Masinis Kecelakaan Bintaro Dimakamkan
Korban Bintaro Tulis Status Facebook di Kereta
Tragedi Bintaro, Polda Ungkap Pemeriksaan Hari Ini
Teknisi Beri Isyarat Kereta Akan Menabrak