PSK asal Maroko menunggu pendataan di Kantor Imigrasi wilayah Bogor, 4 Desember 2014. Sebanyak 19 perempuan PSK asal Maroko tersebut ditangkap di wilayah Puncak Bogor karena menyalahgunakan visa turis dengan bekerja sebagai PSK. ANTARA/Jafkhairi
TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Inang Winarso, meminta pemerintah memberlakukan sanksi pidana terhadap pria yang menikmati aktivitas seksual dari pekerja seks komersial (PSK). Tindakan ini, menurut Inang, efektif untuk mengurangi angka eksploitasi perempuan yang terjadi akibat prostitusi.
"Karena saat ini prostitusi ilegal, lebih baik pemerintah cegah permintaannya. Kriminalkan pembelian seks," ujar Inang saat dihubungi, Jumat, 17 April 2015. Inang berpendapat prostitusi adalah sarana eksploitasi perempuan. Melalui prostitusi fisik atau lokalisasi, perempuan dijadikan barang dagangan oleh pihak tertentu seperti preman dan mucikari.
Sementara jika melalui prostitusi non fisik, seperti melalui jaringan virtual, PSK rawan dieksploitasi oleh pelanggannya. Selama ini, pemerintah hanya terfokus pada pemberantasan prostitusi melalui pembubaran lokalisasi ataupun menangkap PSK. Padahal, kata Inang, itu semua tidak akan muncul jika pria hidung belang tidak mendatangi mereka.
Prostitusi online mengemuka di masyarakat setelah Deudeuh Alfi Shahrin, perempuan berusia 28 tahun, tewas karena diduga dibunuh Prio Santoso, seorang guru bimbingan belajar. Deudeuh diduga memasarkan dirinya melalui akun Twitter.
Inang mengatakan prostitusi online yang kebanyakan dipilih para PSK ini justru membuat mereka semakin rawan ekspoitasi. Bahkan, kemungkinan mengenaskan yang terjadi seperti dialami Deudeuh semakin tinggi.