Warga Kampung Aquarium melaksanakan ibadah salat tarawih di lahan bekas pengusuran, Penjaringan, Jakarta, 7 Juni 2016. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta - Warga Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, berencana menggugat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait dengan penggusuran terhadap 800 rumah pada April lalu. "Kami bisa saja menggugat surat perintah penggusuran atau menggugat untuk meminta ganti rugi," ucap pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Matthew Michele Lenggu, kepada Tempo, Ahad, 12 Juni 2016.
Matthew mengatakan saat ini pihaknya sedang menyusun rencana menggugat Ahok. Dia akan merinci, apakah bakal menggugat kebijakan Ahok terkait dengan pemberian surat perintah penggusuran atau meminta ganti rugi. LBH masih mencari kemungkinan yang bisa menjerat Ahok.
Menurut dia, ada kemungkinan keputusan Ahok menggusur rumah warga melanggar undang-undang. Apalagi saat itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur tanpa mengajak warga berdialog. Warga hanya mendapat surat pemberitahuan seminggu sebelum eksekusi.
Matthew juga melihat, apakah menuntut kebijakan Ahok akan berdampak bagi warga, mengingat rumah warga telah rata dengan tanah. Artinya, belum tentu gugatan itu bermanfaat bagi warga. "Tapi kami masih diskusikan dengan warga."
Selain itu, ada kemungkinan LBH Jakarta dan warga Kampung Akuarium menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk meminta ganti rugi. Sebab, selama proses penggusuran, warga tak mendapat ganti rugi. Bahkan proses penggusuran berlangsung otoriter tanpa mengajak warga berdialog.
Menurut dia, seolah-olah pemerintah menganggap orang yang menghuni Kampung Akuarium sebagai warga liar. Padahal mereka juga rakyat Jakarta yang memiliki hak untuk mendapat ganti rugi. "Paling yang bisa kita lakukan adalah gimana caranya Pemprov DKI Jakarta memberi ganti rugi," tutur Matthew.
Dua bulan lalu, Ahok menggusur ratusan rumah yang menempati lahan milik Pemprov DKI Jakarta selama puluhan tahun. Warga dipaksa hengkang dari tempat itu tanpa diberi ganti rugi. Semua bangunan permanen dirobohkan hingga rata dengan tanah. Saat ini warga masih bersikukuh menolak pindah dan meminta pemerintah memberi ganti rugi.