Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengerahkan semua Menteri teknis dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk sidak di Pulau Reklamasi C dan D, Jakarta Utara, 4 Mei 2016. Tempo/Avit Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mempertanyakan alasan Komite Gabungan Reklamasi membatalkan reklamasi Pulau G di Pantai Utara Jakarta. Komite menilai, proyek Pulau G melanggar peraturan karena berlokasi di dekat kabel listrik milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Di dekatnya juga terdapat pipa gas.
Menurut Ahok, Pulau G justru sudah mengalami penyusutan dalam rancangan desainnya, mengingat ada beberapa pertimbangan. Rancangan tersebut juga telah disesuaikan dengan ketentuan yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.
"Makanya saya mau lihat alasannya apa. Kalau alasannya pipa gas, seperti yang dikatakan di media, atau karena ada kabel PLN, Pulau G justru sudah dipotong jadi 100-an hektare," kata Ahok di Balai Kota DKI, Rabu, 13 Juli 2016.
Semula, Ahok menyebut rancangan Pulau G luasnya bisa mencapai 500 hektare. Namun, karena ada pipa gas dan pipa PLN, luas wilayahnya dipangkas hingga tinggal 161 hektare. Selain itu, Ahok menyebut rata-rata luas pulau reklamasi 400-500 hektare.
"Semua pulau kan rata-rata 400-500 hektare. Kenapa (Pulau G) dipotong? Karena (Pulau G) melawati pipa gas dan PLN. Itu sudah disesuaikan. Sudah dari zaman dulu," tutur Ahok.
Sampai saat ini, Ahok belum berbicara khusus dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli terkait dengan keputusan itu. Ahok mengaku mengetahui pembatalan reklamasi Pulau G sebatas pemberitaan media. "Pembicaraan pribadi bagaimana, sih? Orang dia (Rizal Ramli) sudah (ngomong) di media," ucap Ahok.
Komite Gabungan memutuskan membatalkan reklamasi Pulau G lantaran proyek tersebut dianggap membahayakan lingkungan hidup, lalu lintas laut, dan proyek vital. Reklamasi Pulau G dianggap masuk pelanggaran berat karena di dekat pulau terdapat kabel listrik milik PT PLN.
Selain itu, reklamasi dinilai mengganggu kapal nelayan dan pembangunannya dianggap sembarangan secara teknis serta berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Akibatnya akan membunuh biota laut.