TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah DKI Jakarta akan menagih piutang berupa aset dan denda senilai Rp 11,8 triliun. Ini kewajiban yang harus dibayar pemilik properti atas penerbitan surat persetujuan prinsip pembebasan lokasi (SP3L) dan surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) sejak 1972.
"Ini piutang dan denda yang menumpuk,” kata Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Edy Junaedi, Jumat 3 Februari 2017.
Edy menjelaskan, Surat Keputusan Gubernur Nomor 11 Tahun 1972 mewajibkan perusahaan atau badan hukum yang akan membeli lahan seluas lebih dari 5.000 meter persegi mengajukan permohonan SP3L ke gubernur.
Ketika itu, pemerintah ingin mencegah lahan di Jakarta dimiliki segelintir perusahaan saja sekaligus mencegah munculnya spekulan harga lahan.
Setelah SP3L terbit, perusahaan wajib membayar pemerintah daerah dengan membangun fasilitas publik, misalnya jalan, taman, atau sekolah. Setelah membeli lahan, perusahaan yang ingin memanfaatkan lahan tersebut wajib mengajukan permohonan SIPPT ke pemerintah.
Kewajiban bagi perusahaan atas penerbitan SIPPT berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 540 Tahun 1990 adalah menyediakan 20 persen dari luas lahan efektif untuk pembangunan rumah susun.
Dua tahun kemudian, pemerintah Jakarta menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 640 untuk melengkapi peraturan tersebut. Pemilik lahan yang tak taat diharuskan membayar denda 6 persen dari luas lahan efektif dikalikan dengan rata-rata nilai jual obyek pajak tahun kepemilikan dan nilai jual obyek pajak tahun berjalan.
Batas waktu pemenuhan kewajiban SP3L dan SIPPT adalah tiga tahun sejak keduanya terbit.
Pelaksana tugas Gubernur DKI, Sumarsono, mengatakan penagihan piutang akan dimulai paling lambat pada pertengahan tahun ini. Jika tidak, piutang tersebut bakal terus menjadi beban keuangan daerah.
Badan Pemeriksa Keuangan membuat catatan khusus mengenai piutang tersebut. Menurut Sumarsono, hal ini merupakan salah satu penyebab laporan keuangan DKI Jakarta pada 2015 mendapat opini “wajar dengan pengecualian”.
Pemerintah Jakarta mendapat opini “wajar dengan pengecualian” tiga kali berturut-turut sejak 2013. Menurut Sumarsono, piutang Rp 11,8 triliun itu menghalangi Ibu Kota meraih opini “wajar tanpa pengecualian”. “Angka itu akan selalu menjadi masalah jika tak dibenahi,” kata dia.