Anak-anak bermain pasir di Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, 29 Mei 2015. Pantai indah berpasir putih ini menjadi ikon pulau Pari. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Konflik kepemilikan tanah di Pulau Pari menyeret seorang warga di sana ke dalam penjara. Edi Priadi, warga Pulau Pari itu, saat ini menjadi terpidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Salemba, Jakarta Pusat. Edi dipenjara karena dianggap melanggar Pasal 167 KUHP dengan tuduhan memasuki secara paksa pekarangan perusahaan tanpa izin.
Menurut Ketua Forum Peduli Pulau Pari Sahrul Hidayat, sempat ada seorang yang diduga pegawai Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan membawa segepok uang tunai senilai Rp 20 juta. Uang itu hendak diberikan kepada keluarga Edi.
"Katanya, uang itu adalah kompensasi yang akan diberikan kepada Pak Edi karena rumahnya akan digusur pada Rabu, 8 Maret mendatang," kata Sahrul saat ditemui di kantor Ombudsman pada Senin, 6 Maret 2017.
Edi dieksekusi pada Selasa, 7 Februari 2017. Saat ini, di rumahnya tinggal istri dan anaknya. Menurut Sahrul, pihak pengembang akan menggusur rumah Edi, yang didirikan pada 2015. Perusahaan mengklaim rumah itu dibangun di atas lahan miliknya.
Sahrul berujar, pada Jumat, 3 Maret lalu, seorang pegawai negeri sipil dari Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan bernama Mas'ud datang ke rumah Edi. Mas'ud menawari agar keluarga Edi menerima uang dan mengosongkan rumah karena akan segera digusur. Keluarga Edi beserta warga menolak uang kompensasi tersebut.
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Banten, Tigor Hutapea, mengaku sempat menanyakan asal uang tersebut. Mas'ud menjawab, uang itu berasal dari PT Bumi Pari Asri untuk diberikan kepada keluarga Edi. "Ini kok aneh, uang kompensasi bukan dari APBD, tapi dari perusahaan, dan yang nganterin justru orang kecamatan," ucap Tigor.
Dia menduga pemerintah Kepulauan Seribu tak netral dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah di Pulau Pari. Pemerintah setempat dituding memihak ke pengembang. Perusahaan itu sebelumnya mengklaim menguasai 90 persen lahan dari total luasan pulau. Mereka sudah mendapat sertifikat di sejumlah bidang tanah Pulau Pari pada 2015.
Sahrul menuturkan pihaknya akan melawan jika pengembang dan pemerintah menggusur rumah Edi. Menurut dia, Edi dan warga Pulau Pari lain telah tinggal di tempat itu jauh sebelum perusahaan mengklaim kepemilikan. Perusahaan juga tak pernah membeli rumah atau tanah warga setempat.
Hingga berita ini diturunkan, Tempo masih belum berhasil mendapatkan konfirmasi dari pihak perusahaan.