Depok Pertanyakan Riset Kualitas Udara Greenpeace

Reporter

Editor

Juli Hantoro

Minggu, 9 April 2017 06:33 WIB

Ilustrasi anak-anak terkena polusi udara. theguardian.com

TEMPO.CO, Jakarta - Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok mempertanyakan hasil riset kualitas udara yang dilakukan Greenpeace Indonesia, pada periode Februari-Maret. Adapun berdasarkan pemantauan Greenpeace, indeks polutan berbahaya particulate matter (PM) 2,5 di kawasan Depok mencapai 71,5 mikrogram perkubik.

Data tersebut hampir tiga kali lipat dari batas aman yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 25 mikrogram perkubik. "Metodenya apa yang digunakan," kata Kepala Seksi Penaatan Lingkungan DLHK Depok Indra Kusuma,

Indra memaparkan hasil uji kualitas udara di Depok, khususnya untuk membandingkan data Greenpeace di kawasan Beji (Kukusan) pada 2015 hasilnya 52 mikrogram perkubik. Sedangkan untuk Limo (Gandul) 50 mikrogram perkubik.


Baca: Greenpeace: Kualitas Udara Jabodetabek Buruk

Lebih lanjut ia menuturkan pada 2016 di Beji hasilnya 11,6 mikrogram perkubing, dan di Limo 52,2 mikrogram per kubik. "Depok paling tinggi tahun 2016 di Cinere 62 mikrogram perkubik."

Adapun standar yang digunakan Depok, mengacu pada Peraturan Pemerintah 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. Di PP tersebut ambang batasnya 65 mikrogram perkubik. "Namun, tidak masalah kalau Greenpeace mau menggunakan standar WHO, untuk melihat potensi gangguan kesehatan," ucapnya.

Indra melihat kejanggalan hasil riset Greenpeace, dari perbandingan wilayahnya. Contohnya, di kawasan Gandul mencapai 71,5 mikrogram perkubik, yang angkanya berada di atas Tambun yang hanya 60,3 mikrogram perkubik.

Padahal, kata dia, Tambun merupakan wilayah industri. Selain itu, beberapa wilayah lain yang nilainya lebih kecil seperti Setiabudi (59,4), Antasari (40,3) dan lainnya. "Ini yang menjadi pertanyaan. Padahal di Gandul dan Kukusan masih banyak pepohonan dan ruang terbuka hijau," ucapnya.


Baca: Polusi Udara Merambah Kota Penyangga Jakarta

Untuk menghitung baku mutu udara ambivien diperlukan waktu 24 jam. Depok menghitung kualitas udara sesuai dengan aturan itu. Bahkan, laboratorium yang menguji hasilnya harus yang telah terakreditasi.

Selain itu, dalam menguji baku mutu ambivien udara tersebut mesti menggunakan metode gravimetri dengan menggunakan alat Hi-Vol. "Apakah Greenpeace menggunakan metode itu. Dan apakah kualitas udara diambil 24 jam?" tanya Indra.

Lebih jauh ia juga mempertanyakan hasil uji bakumutu yang dilakukan pada 28 Februari 2017. Soalnya, hasil di wilayah Gandul mencapai 132 mikrogram perkubik dan Kukusan 97 mikrogram perkubik.

"Sedangkan Tambun yang sudah banyak industri 81 mikrogram perkubuk dan Setiabudi yang sudah padat kendaraan 60 mikrogram perkubuk," ucapnya. "Justru saya mau bertanya sama Greenpeace bagaimana cara mereka mendapatkan hasil itu."

Pada Februari-Maret 2017, Greenpeace Indonesia memantau kualitas udara di 19 titik di Jakarta dan sekitarnya. Hasilnya tidak ada satu daerah pun yang memenuhi standar aman bagi manusia yang ditetapkan WHO.

IMAM HAMDI

Berita terkait

Top 3 Tekno Berita Hari Ini: Aksi Mahasiswa UGM Tuntut Transparansi, IPK 4,00 Hahasiswa Kedokteran Universitas Jember, 5 Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia

3 jam lalu

Top 3 Tekno Berita Hari Ini: Aksi Mahasiswa UGM Tuntut Transparansi, IPK 4,00 Hahasiswa Kedokteran Universitas Jember, 5 Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia

Topik tentang mahasiswa UGM menggelar aksi menuntut tranparansi biaya pendidikan menjadi berita terpopuler Top 3 Tekno Berita Hari Ini.

Baca Selengkapnya

Lima Besar Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia, Apa Saja?

1 hari lalu

Lima Besar Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia, Apa Saja?

Polusi udara yang erat kaitannya dengan tingginya beban penyakit adalah polusi udara dalam ruang (rumah tangga).

Baca Selengkapnya

Riset BRIN: Penduduk Indonesia Akan Kehilangan 2,5 Tahun Usia Harapan Hidup Akibat Polusi Udara

1 hari lalu

Riset BRIN: Penduduk Indonesia Akan Kehilangan 2,5 Tahun Usia Harapan Hidup Akibat Polusi Udara

Efek polusi udara rumah tangga baru terlihat dalam jangka waktu relatif lama.

Baca Selengkapnya

Penyakit Minamata Ditemukan di Jepang 68 Tahun Lalu, Ini Cara Merkuri Masuk dalam Tubuh

1 hari lalu

Penyakit Minamata Ditemukan di Jepang 68 Tahun Lalu, Ini Cara Merkuri Masuk dalam Tubuh

Penyakit Minamata ditemukan di Jepang pertama kali yang mengancam kesehatan tubuh akibat merkuri. Lantas, bagaimana merkuri dapat masuk ke dalam tubuh?

Baca Selengkapnya

Jakarta Peringkat 10 Kota dengan Udara Terburuk pada Sabtu Pagi

6 hari lalu

Jakarta Peringkat 10 Kota dengan Udara Terburuk pada Sabtu Pagi

Pada Sabtu pagi pukul 07.02 WIB Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta berada di angka 122 atau masuk dalam kategori tidak sehat.

Baca Selengkapnya

Alasan PKS Usung Kader Internal di Pilkada 2024 Kota Depok

9 hari lalu

Alasan PKS Usung Kader Internal di Pilkada 2024 Kota Depok

Imam Budi Hartono akan melanjutkan RPJMD Kota Depok 2021-2026 jika terpilih pada Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Polusi Udara Bisa Bikin Serangga Salah Pilih Pasangan Kawin

11 hari lalu

Polusi Udara Bisa Bikin Serangga Salah Pilih Pasangan Kawin

Temuan lainnya adalah keturunan hibrida dari serangga yang salah pilih pasangan karena polusi udara itu kerap kali steril.

Baca Selengkapnya

Golkar Jajaki Koalisi dengan PKS Hadapi Pilkada Depok 2024

22 hari lalu

Golkar Jajaki Koalisi dengan PKS Hadapi Pilkada Depok 2024

Ketua DPD Golkar Kota Depok Farabi A. Arafiq telah bertemu dengan Ketua DPD PKS Kota Depok Imam Budi Hartono untuk menjajaki koalisi di Pilkada Depok.

Baca Selengkapnya

Studi Menunjukkan Cahaya Lampu pada Malam Hari Bisa Meningkatkan Risiko Stroke

33 hari lalu

Studi Menunjukkan Cahaya Lampu pada Malam Hari Bisa Meningkatkan Risiko Stroke

Studi ini mengeksplorasi hubungan antara paparan polusi cahaya pada malam hari dengan potensi risiko kesehatan otak dan stroke.

Baca Selengkapnya

Startup di Telkom University Bikin Alat Pemantau Udara: Ramah Lingkungan, Wireless, Berorientasi Siswa

48 hari lalu

Startup di Telkom University Bikin Alat Pemantau Udara: Ramah Lingkungan, Wireless, Berorientasi Siswa

Startup BiruLangit dari unit inkubasi Bandung Technopark Telkom University mengembangkan alat pemantau udara Low-Cost Sensors (LCS)

Baca Selengkapnya