Mahasiswa yang tergabung dalam Tim Pengawal Pilkada Jakarta (TPPJ ) KAMMI menggelar aksi damai pada kegiatan Car Free Day di Jakarta, 9 April 2017. Pilkada DKI akan digelar pada 19 April 2017. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta putaran kedua merupakan pilkada terburuk karena penuh dengan politisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). "Kita ditarik ke isu sensitif primordial. Masalah di Jakarta itu kesenjangan sosial,” ucapnya dalam acara diskusi Pilkada Bersih-Sehat di Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 10 April 2017.
Menurut dia, masing-masing pasangan calon seharusnya berfokus pada masalah kesenjangan di Jakarta. Siti memberi contoh temuannya, yakni banyak warga yang tidak memiliki fasilitas MCK yang cukup.
Ia menyayangkan adanya isu SARA yang dijadikan obyek serang tiap pasangan calon. Siti menyebutnya sebagai “lara politik” yang menjangkiti pilkada DKI Jakarta. "Belum sampai pilkada putaran kedua tapi sudah menimbulkan lara politik.”
Siti berharap para pasangan calon kembali ke visi-misinya. “Jangan ditarik ke mana-mana untuk minta belas kasihan pendukung," ujar Siti
Menurut Siti, sudah saatnya warga diberi informasi yang jernih. Pilkada bukan lagi berkaitan dengan para calon, tapi sebuah sistem yang akan berkaitan langsung dengan masyarakat.
Ditemui dalam kesempatan yang sama, anggota PolMark Indonesia, badan survei yang digunakan pasangan Anies-Sandi, Eko Bambang Subiantoro, menuturkan pihaknya tidak menggunakan agama sebagai basis kerja. "Dukungan dari siapa pun tidak bisa dihindari. Program kerja Anies-Sandi bukan karena agama," kata Eko.
Budayawan Ridwan Saidi berharap pilkada DKI Jakarta putaran kedua benar-benar bersih tanpa kecurangan. Menurut dia, jika terjadi kecurangan, demokrasi akan mati. "(Sudah putaran kedua) kalau besok terjadi kecurangan, kalau diulangi lagi, wassalam," ujar Ridwan.