Pimpinan Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI) dalam pengarahan aksi mogok kerja untuk menolak perpanjangan kontrak antara Jakarta International Containet Terminal dengan PT Hutchison Port Indonesia di kantor JICT, Tanjung Priok, Jakarta, 8 Mei 2017. TEMPO/Caesar Akbar/magang
TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 10 ribu buruh pelabuhan yang tergabung dalam Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI) bakal ikut mendukung aksi mogok para pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) karena kesewenang-wenangan pemegang saham JICT. Rencananya, mogok massal itu akan dilakukan pada 15-20 Mei mendatang.
Sekretaris Jenderal FPPI Nova Sofyan Hakim mengatakan perpanjangan kontrak investasi JICT dengan Hutchison dianggap cacat hukum. "Pekerja mengutuk kesewenangan pemegang saham JICT yang memaksakan perpanjangan kontrak walau banyak kejanggalan," ucap Nova melalui siaran pers pada Senin, 8 Mei 2017.
Pemerintah diminta meninjau ulang perpanjangan kontrak tersebut. Hasil investigasi Panitia Khusus Angket Dewan Perwakilan Rakyat tentang Pelindo II menyatakan perpanjangan JICT harus batal. Hal ini diperkuat oleh hasil audit Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) BPK Nomor 48/Auditama VII/PDTT/12/2015 yang menemukan bahwa perpanjangan JICT dilaksanakan tanpa persetujuan pemerintah, dalam hal ini Menteri Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Perhubungan.
Menurut laporan BPK, negara juga dirugikan US$ 50 juta atau sekitar Rp 650 miliar. Kerugian itu terjadi karena tidak optimalnya uang muka perpanjangan oleh Hutchison. Selain itu, saham Pelindo II belum mayoritas 51 persen, sebagaimana dipersyaratkan Menteri BUMN jika ingin melakukan perpanjangan kontrak JICT.
Hutchison pun diuntungkan dengan membeli murah JICT senilai US$ 215 juta dan Koja US$ 50 juta tanpa valuasi. Padahal mereka memiliki marketshare 70 persen di Tanjung Priok.
Menurut Nova, Pelabuhan Priok adalah captive market dan 90 persen barang masuk ke Indonesia untuk dipakai di dalam negeri. Jadi tidak ada pengaruhnya pasar di Priok dengan keberadaan Hutchison. "Perpanjangan JICT terbukti tidak ada nilai tambah bagi negara, Pelindo II, dan pekerja yang 100 persen anak bangsa," tuturnya.
Hal ini terbukti Hutchison hanya membayar uang sewa perpanjangan kontrak lewat pendapatan perusahaan dan memotong hak karyawan, bukan dari kantong Hutchison sebagai investor. "Pekerja JICT tidak antiinvestasi asing. Namun, jika perpanjangan kontrak yang cacat hukum ini diteruskan, itu akan menjadi preseden buruk penegakan hukum terhadap investasi di Indonesia."
Jika tidak diperpanjang dengan Hutchison, Pelindo II memperoleh pendapatan lebih dari JICT yang dapat digunakan untuk merelaksasi keuangan perseroan. Menurut Nova, jika tetap diperpanjang, sebaiknya saham asing dibatasi dengan proses valuasi dan lelang yang transparan. Misalnya, di Pelabuhan Tanjung Pelepas, Malaysia, saham Maersk Line dibatasi hanya 30 persen.
"Isu-isu negatif yang memojokkan gerakan pekerja JICT selama ini sengaja diembuskan untuk mengaburkan substansi pelanggaran hukum dan kerugian negara perpanjangan kontrak JICT," kata Nova.