TEMPO.CO, Jakarta - Sengketa Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, antara warga dan PT Bumi Pari Asri saat ini menjadi pembahasan di Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Warga mengklaim tanah tersebut karena sudah tinggal secara turun-temurun, sedangkan PT Bumi Pari Asri merasa telah membeli tanah tersebut dari warga.
Sengketa ini berawal pada 2014 ketika perwakilan PT Bumi Pari Asri mendatangi warga Pulau Pari dan mengakui tempat tinggal mereka sebagai lahan milik mereka. “Mereka datang dengan SHM-nya (sertifikat hak milik) setelah pariwisata Pulau Pari berkembang,” kata Ketua RW Pulau Pari Sulaiman, Selasa, 3 Oktober 2017.
Baca: Penguasaan Pulau, Satu Lagi Warga Pulau Pari Dilaporkan ke Polisi
Sulaiman menuturkan hampir semua warga Pulau Pari belum memiliki sertifikat tanah. Namun pada 1984 mereka dibuatkan surat girik, yang kemudian ditarik pada 1992. Mereka pun membayar pajak pada saat itu yang ditarik orang kelurahan dari rumah ke rumah. “Kami tidak punya bukti salinan surat itu karena saat itu susah akses fotokopi,” tutur Sulaiman kepada Dewan.
Menurut pria yang juga seorang nelayan yang lahir dan tumbuh di Pulau Pari tersebut, dia belum pernah menemukan permasalahan hak atas tanah. Tapi, dia mengatakan, setelah pariwisata Pulau Pari berkembang dari swadaya warga di sana, PT Bumi Pari Asri datang dan mengklaim kepemilikan tanah di sana.
Koordinator Lapangan PT Bumi Pari Asri, Ben Yitzhak, menjelaskan kronologi kepemilikan lahan oleh perusahaannya. Dia menuturkan pada 1992 lahan di Pulau Pari dibeli dari warga oleh salah satu pendiri PT Bumi Raya Utama, Herman Susilo. “Dari tahun 1992 sampai sekarang kami bayar PBB lahan di Pulau Pari,” ucapnya.
Ben juga mengatakan Herman memberikan kompensasi Rp 1,3 juta ke warga dan diberikan lahan 200 meter persegi di Pulau Tidung pada 1995. “Warga tersebut kembali lagi (ke Pulau Pari) tahun 1998,” ujarnya. Berdasarkan pengakuan Sulaiman, hanya 16 kepala keluarga yang dipindahkan dari total 90 kepala keluarga pada saat itu.
Berdasarkan catatan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, PT Bumi Pari Asri memiliki lahan seluas 40,6 hektare, terdiri atas hak guna bangunan dengan 14 sertifikat, 61 sertifikat hak milik atas nama pribadi, dan akta jual-beli camat sebesar 62 peta bidang.
Luas Pulau Pari sendiri 41,32 hektare. Terkait dengan sengketa pulau itu, berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, lahan Pulau Pari 40 persen digunakan sebagai permukiman, 50 persen perekonomian, dan 10 persen digunakan untuk pengembangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).