TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menilai pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikenakan polisi dalam kasus T1 Spa di Ruko Plaza Harmoni, Jakarta Pusat yang digerebek polisi karena diduga sebagai tempat prostitusi gay, dinilai tidak tepat.
“Pasal 296 KUHP itu istilah pelacuran untuk laki laki dan wanita, jadi tidak bisa dipergunakan pasal dalam KUHP dalam kasus ini,” ujar Fickar saat dihubungi Tempo pada Ahad, 8 Oktober 2017.
Baca juga: Polisi Gerebek Spa Khusus Pria di Harmoni, 51 Orang Terjaring
Sebelumnya, Kepolisian Resor Jakarta Pusat menggrebek T1 Spa pada Jumat, 6 Oktober 2017, pukul 22.00 WIB. Saat itu, polisi mengamankan beberapa barang bukti seperti kondom, pelumas, dildo, alat perangsang merek Rush.
Polisi menetapkan enam orang pengelola sebagai tersangka karena telah melanggar Undang-Undang Pornografi pada pasal 30 juncto Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 dan atau pasal 296 KUHP.
Menurut Fickar, dakwaan tentang muncikari atau memfasilitasi terjadi perbuatan pelacuran dalam KUHP sulit dikenakan kepada para pengusaha, mengingat pengertian pelacuran itu antara laki laki dengan perempuan.
“Sedangkan dalam kasus ini pelakunya semua pria sesama jenis, jadi para pengunjung yg notabene laki-laki juga tidak termasuk dalam pengertian perbuatan cabul,” ujar dia.
Namun demikian, menurut dia, secara admintratif atau menurut hukum administrasi negara, pemerintah daerah atas dasar rekomendasi kepolisian dapat mencabut izin usaha dari usaha Spa itu.
Namun, Fickar menyebut, pidana yang dapat dikenakan terhadap Spa itu hanya Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
“UU Pornografi itu dapat dikenakan kepada pelaku temasuk para pengunjung sepanjang pengertian cabul dalam UU Pornografi dilakukan,” ujar dia.
Dia menjelaskan, salah satu perilaku cabul yang dilakukan dalam kasus ini adalah memperlihatkan alat kemaluan laki laki.
“Jadi ini jelas termasuk perilaku cabul yang disebut dalam UU Pornografi Pasal 1 Ayat 1 dan semua yang melanggar dapat dikenai hukuman maksimal 6 bulan penjara atau denda maksimal 3 miliar,” ujar dia.
DEWI NURITA