Jakarta - Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai surat Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat ihwal pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTR KS Pantura) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyembunyikan fakta terkait proyek reklamasi di Teluk Jakarta.
“Kedua raperda tersebut banyak menutupi fakta yang ada, mulai dari dampak buruk reklamasi terhadap lingkungan hidup hingga fakta hukum yang menjadi dasar untuk penghentian proyek reklamasi,” kata salah satu perwakilan Koalisi, Marthin Hadiwinata dalam siaran tertulisnya pada Rabu, 11 Oktober 2017.
Baca juga: Djarot: Reklamasi Terus Diributkan Bikin Jakarta Enggak Maju
Marthin menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta untuk menghentikan pembahasan dua raperda reklamasi tersebut.
Marthin menjelaskan ada beberapa alasan yang mendasari keberatan terhadap surat Gubernur DKI Jakarta dan pembahasan lanjutan raperda itu.
Pertama, Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan yang mencabut moratorium pembangunan proyek reklamasi Teluk Jakarta dianggap tidak relevan.
“Tidak ada kewenangan dari Menko Maritim untuk menyatakan bahwa reklamasi dapat berlanjut,” kata Marthin. Menurutnya, SK itu tidak didasari kajian ilmiah yang transparan terhadap alasan dicabutnya moratorium reklamasi.
Marthin juga merujuk kepada kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2016. Menurut kajian tersebut, selain berdampak buruk pada lingkungan, proyek reklamasi juga berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi nelayan.
Selain itu, Marthin menyebutkan bahwa saat ini ada tiga gugatan lingkungan hidup yang sedang berjalan antara nelayan dengan Gubernur DKI Jakarta terkait Pulau F, Pulau I, dan Pulau K.
“Dari tiga gugatan tersebut menunjukkan bahwa proyek reklamasi adalah proyek bermasalah dan seharusnya dihentikan.”
Marthin juga menganggap Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Raperda RTR KS Pantura dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan masyarakat.
“Hanya ada satu kali Konsultasi Publik yang dilakukan setelah ada kajian, dengan undangan disebar tanpa dilampirkan dokumen yang dibahas."
Lebih lanjut, Marthin menilai pemerintah tak patuh hukum. Menurutnya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harusnya mematuhi Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Pemerintah harus memenuhi mandat adanya Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Laut Nasional. Sebab, peraturan itu menjadi dasar dari setiap perencanaan tata ruang dan Rencana Zonasi wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Raperda reklamasi tersebut akan dapat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dan undang-undang yang berlaku,” kata Marthin.
Marthin juga menuntut janji Djarot kepada Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan, terkait pemberhentian proyek reklamasi.
“Jika kedua raperda dipaksakan lanjut, DPRD hanya akan menambah masalah bagi pemerintah terbaru.”
Gubernur Djarot Saiful Hidayat mengatakan upaya pencabutan moratorium reklamasi itu bukan menjegal penerusnya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
"Enggak," kata dia singkat saat Tempo menanyakan hal itu di Balai Kota Jakarta, Sabtu, 26 Agustus 2017.
Djarot mengatakan upaya melanjutkan reklamasi Teluk Jakarta adalah kewajiban pemerintah. Pihaknya sudah berkirim surat dengan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mencabut moratorium reklamasi Teluk Jakarta.
Simak juga: Djarot: Pencabutan Moratorium Reklamasi Bukan untuk Jegal Anies
Djarot mengatakan pemerintah Jakarta akan memprioritaskan pada perbaikan lingkungan dan pembangunan dermaga, serta perbaikan kampung nelayan.
"Kalo kita manfaatin. Mana yang jadi skala prioritas? Skala prioritasnya tentu saja untuk lingkungan dan warga nelayan," kata dia menjelaskan soal proyek reklamasi di Teluk Jakarta.