TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai vonis enam bulan penjara kepada tiga nelayan Pulau Pari adalah bentuk kegagalan pemerintah dalam memastikan perlindungan hak-hak nelayan Indonesia. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memutuskan tiga nelayan Pulau Pari bersalah melakukan pemerasan.
"Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghasilkan dua catatan merah," ujar Sekjen Kiara Susan Herawati dalam keterangan resmi Kiara yang diterima Tempo, Rabu, 8 November 2017.
Menurut Susan, dua catatan kegagalan pemerintah adalah gagal melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman privatisasi dari investasi dan korporasi. Pemerintah juga dianggap gagal mengakui dan melindungi hak-hak nelayan mengelola wilayah pesisir dan pulau kecil.
Baca: Tiga Nelayan Pulau Pari Diputus Bersalah Lakukan Pemerasan
Pada sidang putusan Selasa lalu, ketiga terdakwa yakni Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bachrudin alias Edo dijerat dengan Pasal 368 Ayat 1 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pemerasan. Hakim Ketua Agusti mengatakan pungutan kepada pengunjung Pantai Perawan yang dilakukan terdakwa merupakan bentuk pemerasan karena tidak sesuai dengan retribusi atau pajak yang ditetapkan pemerintah daerah setempat.
Menurut Susan, putusan majelis hakim tersebut bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Susan mengatakan dalam pasal tersebut, masyarakat pesisir memiliki hak untuk mengelola dan mendapatkan manfaat dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. "Warga Pulau Pari telah berpuluh-puluh tahun menetap, membuka wisata dan mengelola secara mandiri," ujarnya.
Terlebih, menurut Susan, uang hasil dari pungutan kepada wisatawan digunakan masyarakat setempat untuk membangun sarana dan prasarana Pantai Perawan. Sisanya, untuk membayar petugas kebersihan, membangun mushola dan membantu anak yatim. "Pengelolaan ini dilakukan mandiri tanpa keterlibatan pemerintah," katanya.
Baca: Nelayan Pulau Pari Serahkan Bukti Kepemilikan Tanah ke Ombudsman
Susan melanjutkan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan oleh masyrakat diakui dalam Pasal 4 huruf C dan D UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. "Dengan tujuan tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan dan meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya," ujarnya.
Bahkan, pemerintah dituntut untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional dan kearifan lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan sesuai dengan Pasal 61 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal tersebut juga di dukung dengan Putusan Makhamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang memberikan pengakuan hak bagi nelayan untuk berdaulat atas wilayah sendiri.
"Mandat dari putusan MK adalah Negara harus menjamin terpenuhinya 4 hak konstitusional nelayan Indonesia salah satunya hak untuk mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil," kata Susan.
Atas putusan tiga nelayan Pulau Pari tersebut, Susan mengatakan Kiara mendesak dua hal. Pertama, pemerintah didesak untuk segera melakukan review terhadap proyek-proyek strategis nasional yang merampas hak-hak kontitusional nelayan. Kedua, memastikan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dengan implemetasi UU No 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam melalui penyusunan panduan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
"Ini ditujukan kepada seluruh aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum," ujarnya.